Tekan ESC untuk keluar

Muda

“Siapa saja boleh berkompetisi menjadi presiden Pemuda Demokrat kampus,” ujar Prof. Pohlhammer, yang juga Presiden Partai Demokrat (AS) di Monterey.

“Mahasiswa semester awal atau akhir, tua atau muda, kewarganegaraan Amerika atau bukan, silakan ikut pesta demokrasi kampus,” pungkasnya.

Ketertarikan saya terhadap Pemuda Demokrat di kampus dipengaruhi oleh posisi partai yang menolak perang di Irak (2003), lebih ramah terhadap imigran dan kaum marginal, serta perhatian pada isu lingkungan.

Singkat cerita, saya memberanikan diri mendaftar menjadi capres.

Sudah bukan warga Amerika. Mahasiswa semester satu, paling muda. Bahasa Inggris ala kadarnya pula. “Triple minoritas”.

Kampanye pun berlangsung sengit. Komentar para mahasiswa/i juga kadang tak kalah nyelekit.

Jangan tanya betapa deg-degannya saya saat menyampaikan gagasan saya. Dari mulai ditepuk-tangani, diledeki, dikacangi, hingga ditanyai macam-macam seputar asal, agama, hingga ranah privat lainnya.

Hal yang perlu saya lalui selanjutnya adalah debat terbuka dengan 4 kontestan lainnya. Semuanya adalah senior saya di jurusan sosial-politik, bahkan ada pula mahasiswa abadi.

Usai debat, Prof. Pohlhammer menepuk pundak saya dan berkata, “Well done, you are clearly one of the best speakers out there.”

Dalam hati saya berkata, “Saya sudah memberikan yang terbaik. Apa pun hasilnya.”

Singkat cerita, saya berhasil mendapat suara kedua terbanyak. Lalu saya ditawari menjadi wakil presiden.

Begitulah kira-kira kisah saya: seorang warga Indonesia, paling muda pula, menjadi wapres Pemuda Demokrat kampus.

Semua itu bisa terjadi karena (salah satunya) tidak ada pembatasan usia untuk sebuah posisi. Mau tua kek, mau muda kek, biarkan rakyat yang berbicara. Inilah demokrasi.

Dari sini saya belajar tentang pepatah dan pentingnya memberi kesempatan kepada pemuda: “If you are good enough, you are old enough.”

Kalau pemuda tidak diberi kesempatan, lalu kapan? Apakah harus menunggu sang pemuda itu menjadi petua dulu

Orang sering bilang pemuda adalah pemimpin masa depan. Justru, pemuda zaman now jangan ragu untuk berkata, “Kami adalah pemimpin masa sekarang dan masa depan.”

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩