Artikel ini telah terbit sebelumnya di majalah Muslim 500 dalam bahasa Inggris
Sejak tahun 2018, sebuah gerakan keagamaan yang dikenal sebagai ‘Gerakan Hijrah’ mulai berkembang di Indonesia. Gerakan ini mempengaruhi bagaimana Islam dipandang dan diamalkan di negara Muslim terbesar di dunia. Dipimpin terutama oleh selebriti dan generasi baru ulama Islam, Gerakan ini terus mendapatkan daya tarik di kalangan generasi muda Indonesia. Segmen populasi ini kritikal dalam memperluas pesan Gerakan di seluruh kepulauan, tidak hanya karena mereka merupakan bagian besar dari demografi negara, tapi juga karena keakraban mereka dengan teknologi dan media sosial.
Pada intinya, Gerakan Hijrah mengajak umat Islam untuk meninggalkan cara hidup yang kurang Islami demi gaya hidup yang lebih Islami. Banyak umat Islam, terutama generasi milenial, melihat ini sebagai kesempatan untuk berubah menjadi versi diri yang lebih baik, versi yang lebih dekat kepada Allah. Pada tahun 2019, IDN Research Institute menemukan bahwa 72,8% milenial Indonesia mengaku bahwa mereka sedang menjalani ‘hijrah’. Perubahan internal dan eksternal seringkali termanifestasi pada mereka yang mengikuti ‘hijrah’. Perubahan dalam berpakaian dan penampilan biasanya menjadi yang pertama terlihat, diikuti oleh perubahan lain dalam perilaku, gaya hidup, dan interaksi sosial.
Transformasi semacam itu bisa berlangsung secara bertahap atau tiba-tiba, tergantung pada individu dan ulama serta ajaran yang mereka ikuti. Dari selebriti yang menjadi pendakwah hingga lulusan Timur Tengah dengan kecenderungan Salafi, hingga ulama moderat dan modern, gelombang kebajikan baru ini tidak kekurangan ulama. Meskipun bisa dibilang bahwa beberapa aliran Islam, khususnya Salafisme, tampaknya mendapat gelombang terbesar.
Namun, dampak positif dari Gerakan ini tidak bisa dipungkiri. Semakin banyak umat Islam yang (kembali) belajar agama mereka, berbondong-bondong ke masjid dan majelis (kelompok belajar Islam) daripada ke mal. Mereka melakukan shalat tahajjud (shalat malam) daripada menari di klub malam. Mereka juga telah meninggalkan gaya hidup yang kurang Islami. Kebangkitan spiritual baru ini juga mempengaruhi perubahan sosial dan ekonomi. Memastikan setiap produk yang digunakan dan dikonsumsi bersertifikat halal telah mengakibatkan lonjakan permintaan untuk produk halal, mulai dari kebutuhan menaruh uang di institusi berbasis Syariah hingga industri pakaian dan kosmetik Islami dan modest yang terus berkembang.
Ambil yang Baik, Tinggalkan yang Buruk
Islam adalah agama yang sangat menghargai pembelajaran. Wahyu pertamanya adalah “Iqra” (‘baca’ atau ‘bacakan’). Mengingat masyarakat Arab abad ke-7 sebagian besar buta huruf, perintah ini merupakan tindakan yang kuat dan transformatif.
Nabi Islam (semoga damai beserta beliau) juga menjadi juara pembelajaran. Beliau (semoga damai beserta beliau) berkata, “Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim” (Sunan Ibn Majah 224).
Meski bukan hadits, ada pepatah umum yang diterima bahwa umat Islam harus, “Mencari ilmu dari buaian hingga liang lahat.” Atau dalam istilah hari ini, umat Islam harus menjadi pembelajar seumur hidup.
Seiring Gerakan Hijrah mendapatkan momentum, kebutuhan untuk menemukan guru spiritual bagi para pembelajar yang antusias pun tumbuh. Pada masa lalu, seseorang perlu menghadiri sekolah Islam atau pondok pesantren selama bertahun-tahun untuk mempelajari berbagai ilmu Islam secara tepat. Bahkan setelah proses pendidikan yang panjang di pesantren, banyak lulusan sering merasa mereka baru saja menggaruk permukaan.
Namun, di zaman sekarang, proses akumulasi dan ekstensif seringkali dilewati. Smartphone dan media sosial kini memungkinkan umat Islam untuk belajar Islam di ujung jari mereka. Meskipun ini tidak diragukan lagi memiliki kelebihan dalam meningkatkan pengetahuan seseorang tentang Islam, ini tidak tanpa kekurangannya.
Di Indonesia, pendakwah yang kurang berkualifikasi sekarang tiba-tiba memiliki kesempatan untuk mencoba tafsir Al-Qur’an dan mengambil hukum dari Sahīh al-Bukhārī tanpa penguasaan bahasa Arab dan ilmu prasyarat lainnya, apalagi ijāza (otorisasi) dari ulama atau universitas yang dihormati. Meskipun jelas kekurangan kualifikasi, pendakwah ini mendapatkan popularitas dan jangkauan berkat algoritma media sosial yang acuh tak acuh terhadap keahlian sambil menghargai klik dan konten kontroversial.
Islam Sunni secara khusus ditantang karena tidak memiliki otoritas keagamaan tunggal yang menetapkan keimaman kepada mereka yang berkualifikasi, sehingga menyelesaikan perdebatan agama. Bahkan dalam Gerakan Hijrah, perbedaan pendapat ada. Perbolehan merayakan ulang tahun Nabi (mawlid), misalnya, sering menjadi sumber pertikaian antara ulama dan pengikut mereka dalam Gerakan. Isu panas lainnya adalah apakah pemerintah Indonesia saat ini harus dipatuhi atau diganti dengan khilafah Islam. Namun, dua isu terakhir ini jarang dibahas secara terbuka.
Bagi orang awam, membedakan antara ulama sejati dan ulama semu bisa menjadi rumit, begitu juga memilih siapa yang harus diikuti. Mereka secara alami tertarik pada ulama yang dapat menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang sederhana dan dipadu dengan kepastian mutlak. Mereka tentu tidak bisa disalahkan karena lebih memilih keputusan agama yang cepat tentang sebuah isu daripada merenungkan beberapa posisi dalam empat mazhab Islam (al-Madhāhib al-Arba‘ah). Itu jelas di luar kemampuan mereka. Singkatnya, mereka tidak memiliki pelatihan untuk itu, dan dengan demikian, sampai batas tertentu, menemukannya membingungkan, jika tidak membosankan.
Dalam hal kesederhanaan dan ketegasan, mungkin tidak ada yang bisa bersaing dengan ulama Salafi, yang merupakan bagian integral dari Gerakan Hijrah. Pengajaran Islam mereka yang sederhana, bahwa seseorang hanya membutuhkan Al-Qur’ān dan koleksi ḥadīth utama untuk memahami agama, menarik bagi banyak orang. Ketegasan mereka, terutama dalam mendeklarasikan “haram” atau “bid’ah”, bahkan dalam hal-hal di mana perbedaan pendapat yang sah ada, menarik bagi sebagian orang sebagai pemeliharaan kemurnian di dunia yang tercemar. Tidak heran, jika Salafisme mungkin mendapat keuntungan terbesar dari Gerakan Hijrah.
Semuanya mungkin baik-baik saja sampai munculnya “ahli instan” dan “polisi bid’ah”. Dengan akses ke Al-Qur’ān dan koleksi hadīth utama secara online (sering mengandalkan terjemahan), mereka mulai berpendapat dan menyerang beberapa praktik yang mereka anggap bid’ah. Media sosial penuh dengan diatribe yang tidak menguntungkan ini. Umat Islam tradisional di Indonesia, yang secara resmi, nominatif, atau budaya tergabung dalam Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, sering merasakan dampak serangan ini. Mereka juga membalas, memberi label pada pengikut Hijrah-Salafi ini sebagai neofit belajar mandiri yang pengetahuan superfisial mereka tentang Islam tidak mampu (atau tidak mau) memahami kompleksitas agama. Daripada ‘hijrah’ (migrasi), para tradisionalis lebih memilih istilah ‘tawbah’ (pertobatan). Mereka juga menyarankan bahwa mereka yang baru Hijrah/Tawbah berusaha belajar Islam dari guru yang berakar kuat dalam tradisi melalui rantai guru yang mapan sampai ke Nabi Muhammad—tidak terlalu mengandalkan Shaykh Google atau Imam YouTube.
Pada akhirnya, kedua pihak bisa belajar satu sama lain. Mereka yang saat ini menjalani ‘hijrah’ bisa mendapat manfaat dari pelatihan Islam klasik di pesantren di bawah bimbingan Kiais/Nyais (ulama tradisionalis pria dan wanita). Dan pesantren bisa membuka pintu bagi mereka untuk belajar pendekatan komprehensif terhadap kitab suci Islam. Sementara itu, ulama tradisionalis harus menggandakan upaya mereka dalam menggunakan internet dan media sosial untuk membagikan pengetahuan mereka dengan cara yang resonan dengan audiens yang lebih luas, terutama kalangan muda perkotaan. Menjadi adaptif, moderat, menghargai konsultasi bersama, menghormati ulama, dan bersikap sopan dalam perbedaan pendapat telah menjadi ciri khas Islam di Indonesia selama bertahun-tahun. Lagi pula, inilah esensi umat Islam Indonesia.