Tekan ESC untuk keluar

Diaspora, Aset Kekuatan Baru Diplomasi Dilupakan, Mulyaman: Potensi Indonesia Emas 2045 Bisa Hilang

Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, sudah sewajarnya Indonesia mempunyai kebijakan yang menyeluruh terkait diasporanya. Indonesia seharusnya malu dengan negara yang populasinya jauh lebih sedikit dalam hal pengelolaan diaspora.

Korea Selatan, contohnya, negara yang hanya memiliki populasi sekitar 50 juta jiwa dan mengalami depopulasi yang terstruktur akibat keengganan masyarakatnya untuk menikah dan memiliki keturunan, namun mempunyai jaringan diaspora yang jauh lebih mumpuni.

“Bahkan, beberapa sudah menjadi pemegang jabatan penting di berbagai institusi global, seperti Jim Kim di Bank Dunia, Ban Ki-Moon di PBB, serta Jay Park di belantika musik dunia,” ungkap Direktur Pusat Kajian CESFAS HI UKIDarynaufal Mulyaman, dalam keterangannya, Selasa (2/4/2024).

Ia melanjutkan, Korea Selatan juga memiliki Overseas Korean Agency (OKA) yang dibentuk oleh pemerintah Korea Selatan untuk menangani dan mengelola jaringan diaspora Korea Selatan di berbagai negara.

Dikatakan, jika Indonesia terlalu angkuh untuk melihat pengelolaan diaspora oleh negara yang populasinya lebih kecil, mungkin Indonesia juga harus perlu melihat bagaimana negara dengan populasi yang lebih besar darinya menangani diasporanya.

Salah satu contoh langkah yang dapat dilakukan adalah dengan membangun database talenta diaspora.

Ia menyebutkan India sebagai negara terpadat di dunia memiliki kebijakan diaspora yang sangat terintegrasi dan efisien bagi setiap warga negara dan turunannya.

“Diaspora India memegang banyak posisi strategis, tidak hanya di swasta, tetapi juga di pemerintahan di banyak negara di dunia. Seperti Ajay Bhanga di Bank Dunia, Kamala Harris yang menjadi Wakil Presiden Amerika Serika, serta Rishi Sunak yang menjadi Perdana Menteri Inggris.,” ujar Mulyaman.

Menurutnya, Indonesia harus bercermin dengan benar dari dua contoh yang telah disebutkan.

Indonesia sebagai salah satu penyalur pekerja migran yang besar ke berbagai negara di dunia dan memiliki sejumlah hubungan historis yang kental dengan beberapa negara di dunia, tentu sudah memiliki aset diaspora yang sebenarnya sangat potensial jika dikembangkan untuk memberikan keuntungan pada negara dan bangsa.

Kendati demikian, ia mengatakan tata kelola diaspora memang seharusnya dilakukan dari dua sisi, yaitu dari sisi diaspora dan dari sisi bagaimana kondisi di domestik Indonesia.

“Indonesia juga sudah pasti tidak ingin mengalami apa yang disebut dengan “brain drain” yang berarti hilangnya potensi sumber daya manusia Indonesia karena berpindah kewarganegaraan karena kondisi domestik yang tidak mendukung misalnya,” katanya.

Ia menilai, sudah banyak kekecewaan yang dialami oleh warga negara Indonesia, mulai dari urusan dapur hingga politik, jangan lagi ditambah dengan urusan hilangnya potensi Indonesia Emas 2045.

Karena potensi sumber daya manusia, yang ada di dalam dan di luar negeri, tidak terurus dengan baik.

Jangan sampai Indonesia 2045 menjadi angan belaka dan berubah menjadi beban demografi yang seharusnya menjadi bonus demografi Indonesia, yang mana Indonesia pada tahun 2045 akan didominasi kaum muda yang seharusnya penuh dengan harapan dan potensi.

Menurut Mulyaman, inovasi kebijakan demografi dan kepengurusan diaspora sudah mutlak. Hal ini harus dilakukan untuk menjadikan mimpi Indonesia 2045 menjadi kenyataan.

“Diaspora siap membantu tetapi memang tidak bisa bekerja sendirian, kita pun sepakat bahwa diaspora sudah seharusnya menjadi aset dan kekuatan diplomasi baru bagi kepentingan nasional Indonesia,” tandasnya.

Sumber: jabar.tribunnews.com

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩