Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, sudah sewajarnya Indonesia mempunyai kebijakan yang menyeluruh terkait diasporanya. Indonesia seharusnya malu dengan negara yang populasinya jauh lebih sedikit dalam hal pengelolaan diaspora.
Korea Selatan, contohnya, negara yang hanya memiliki populasi sekitar 50 juta jiwa dan mengalami depopulasi yang terstruktur akibat keengganan masyarakatnya untuk menikah dan memiliki keturunan, namun mempunyai jaringan diaspora yang jauh lebih mumpuni.
“Bahkan, beberapa sudah menjadi pemegang jabatan penting di berbagai institusi global, seperti Jim Kim di Bank Dunia, Ban Ki-Moon di PBB, serta Jay Park di belantika musik dunia,” ungkap Direktur Pusat Kajian CESFAS HI UKI, Darynaufal Mulyaman, dalam keterangannya, Selasa (2/4/2024).
Ia melanjutkan, Korea Selatan juga memiliki Overseas Korean Agency (OKA) yang dibentuk oleh pemerintah Korea Selatan untuk menangani dan mengelola jaringan diaspora Korea Selatan di berbagai negara.
Dikatakan, jika Indonesia terlalu angkuh untuk melihat pengelolaan diaspora oleh negara yang populasinya lebih kecil, mungkin Indonesia juga harus perlu melihat bagaimana negara dengan populasi yang lebih besar darinya menangani diasporanya.
Salah satu contoh langkah yang dapat dilakukan adalah dengan membangun database talenta diaspora.
Ia menyebutkan India sebagai negara terpadat di dunia memiliki kebijakan diaspora yang sangat terintegrasi dan efisien bagi setiap warga negara dan turunannya.
“Diaspora India memegang banyak posisi strategis, tidak hanya di swasta, tetapi juga di pemerintahan di banyak negara di dunia. Seperti Ajay Bhanga di Bank Dunia, Kamala Harris yang menjadi Wakil Presiden Amerika Serika, serta Rishi Sunak yang menjadi Perdana Menteri Inggris.,” ujar Mulyaman.
Menurutnya, Indonesia harus bercermin dengan benar dari dua contoh yang telah disebutkan.
Indonesia sebagai salah satu penyalur pekerja migran yang besar ke berbagai negara di dunia dan memiliki sejumlah hubungan historis yang kental dengan beberapa negara di dunia, tentu sudah memiliki aset diaspora yang sebenarnya sangat potensial jika dikembangkan untuk memberikan keuntungan pada negara dan bangsa.
Kendati demikian, ia mengatakan tata kelola diaspora memang seharusnya dilakukan dari dua sisi, yaitu dari sisi diaspora dan dari sisi bagaimana kondisi di domestik Indonesia.
“Indonesia juga sudah pasti tidak ingin mengalami apa yang disebut dengan “brain drain” yang berarti hilangnya potensi sumber daya manusia Indonesia karena berpindah kewarganegaraan karena kondisi domestik yang tidak mendukung misalnya,” katanya.
Ia menilai, sudah banyak kekecewaan yang dialami oleh warga negara Indonesia, mulai dari urusan dapur hingga politik, jangan lagi ditambah dengan urusan hilangnya potensi Indonesia Emas 2045.
Karena potensi sumber daya manusia, yang ada di dalam dan di luar negeri, tidak terurus dengan baik.
Jangan sampai Indonesia 2045 menjadi angan belaka dan berubah menjadi beban demografi yang seharusnya menjadi bonus demografi Indonesia, yang mana Indonesia pada tahun 2045 akan didominasi kaum muda yang seharusnya penuh dengan harapan dan potensi.
Menurut Mulyaman, inovasi kebijakan demografi dan kepengurusan diaspora sudah mutlak. Hal ini harus dilakukan untuk menjadikan mimpi Indonesia 2045 menjadi kenyataan.
“Diaspora siap membantu tetapi memang tidak bisa bekerja sendirian, kita pun sepakat bahwa diaspora sudah seharusnya menjadi aset dan kekuatan diplomasi baru bagi kepentingan nasional Indonesia,” tandasnya.
Sumber: jabar.tribunnews.com