Ketika gelegar dan kilauan dari ledakan nuklir pertama mewarnai langit New Mexico, ilmuwan J. Robert Oppenheimer langsung teringat pada kutipan dari Bhagavad Gita:
“Seandainya kilauan seribu matahari meledak sekaligus di langit, itu akan terlihat seperti kemegahan Yang Mahakuasa.”
Namun, perjalanan menuju kilauan yang mengerikan ini dimulai dari kata-kata ilmuwan lainnya.
Adalah Albert Einstein dan Leo Szilard, yang menyurati Presiden Franklin D. Roosevelt tentang prospek terciptanya bom mega-dahsyat dan bagaimana Jerman dan Hitler sedang gigih mengupayakannya.
Oppenheimer, si penyuka nasi goreng dan puisi, lalu diberi tugas menakutkan untuk memimpin Proyek Manhattan, simfoni ilmiah dan militer yang berujung pada pembuatan bom nuklir.
Hasilnya?
Hiroshima. Nagasaki.
Dua kota lenyap dalam kilauan cahaya yang mengerikan, ratusan ribu manusia tewas terpanggang.
Tapi ini bukanlah akhir, melainkan awal dari era nuklir.
Total 2000 kali senjata nuklir pernah diledakkan di bumi ini dari 1945-1996. Meluluh-lantakkan laut, darat, atmosfir, dan meracuni apa pun yang disentuhnya.
Sedih terhadap kreasinya, Oppenheimer kembali mengutip Bhagavad Gita, “Aku telah menjadi Maut, pemusnah dunia.”
Namun, untungnya dunia sudah berubah ke arah yang lebih baik.
Dulu saat saya pertama kali belajar CBRN di tahun 2007, Amerika Serikat punya cukup bom nuklir untuk menghancurkan dunia 70 kali. Iya, 70 kali.
Kini angka itu mungkin sudah turun setengahnya berkat perjanjian NPT, START, dan lainnya.
“Dengan puluhan ribu bom nuklir yang dimiliki oleh banyak negara selama lebih dari 50 tahun dan puluhan konflik, mengapa dunia masih luput dari perang nuklir hingga kini?” tanya mahasiswa pasca-sarjana di di California.
“Saya tidak tahu pasti. Tapi kita cukup beruntung selama ini,” jawab profesor pembuat bom nuklir dari Los Alamos.
Kita tak boleh mengandalkan keberuntungan kalau ingin selamat. Sebab keberuntungan itu punya tanggal kadaluwarsa.
Jika kita–manusia–cukup cerdas untuk menciptakan bom yang bisa menghancurkan dunia, kita pun harus cukup cerdas untuk menemukan cara untuk menghapuskannya.
Our world needs it. Our children deserve it.
Setuju?