Tekan ESC untuk keluar

Romney dan Olimpiadenya

Sejak kecil Mitt Romney punya cita-cita yang tak biasa: ia ingin menjadi presiden Amerika.

Terlahir dari keluarga pengusaha otomotif yang kaya raya, Romney digembleng untuk melek bisnis dan politik sejak dini.

Ayahnya, George, pernah maju jadi kandidat capres tapi gagal. Ia pun harus puas “hanya” menjadi menteri di kabinet Nixon.

Konon pemilih partai Republik kala itu belum siap dengan kandidat yang berasal dari kelompok minoritas Mormon seperti George.

Namun demikian, Romney tetap bertekad melampaui ayahnya.

Di tahun 1994, ia maju menjadi senator tapi kalah dari Ted Kennedy. Ia pun terpaksa kembali fokus ke bisnisnya sambil memikirkan cara “come back” ke dunia politik.

Kesempatan itu muncul ketika Olimpiade Musim Dingin di Utah tahun 2002 terancam gagal. Salah satu alasannya karena imbas Tragedi 11 September.

Romney tertarik ambil alih sebagai kesempatan baginya meningkatkan publisitas (dan elektabilitas).

Ketua Panitia Robert H. Garff sebetulnya sudah mengendus niat Romney menjadikan Olimpiade sebagai “batu loncatan politik”. Tapi apa daya, Romney adalah tokoh lokal yang katanya sudah dapat “restu” dari Presiden Bush.

Tepat di hari ini, 8 Februari, 21 tahun yang lalu adalah hari digelarnya Olimpiade itu.

Romney tidak bisa menutupi senyumnya di hari itu. Ia tahu betul bahwa cita-cita masa kecilnya kini semakin dekat. Bersanding dengan Presiden Bush di Opening Ceremony, Romney pun terlihat tak kalah “presidential”.

Betul juga, usai “menyelamatkan Olimpiade” Romney menjadi primadona partai Republik. Sudah kaya, terkenal, jago manajemen bisnis dan olahraga, agamais pula—partai mana yang tak terpincut.

Hingga singkat cerita, Romney berhasil melampaui ayahnya: menjadi capres resmi partai Republik.

Rupanya strategi “ambil alih event sport besar” guna mendapat tiket capres-cawapres (atau posisi politik lainnya) banyak ditiru oleh politikus lintas negara, dari Amerika, Inggris hingga Rusia. Bukan tidak mungkin, oleh politikus Indonesia juga suatu hari nanti.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩