Tekan ESC untuk keluar

Milkshake Maroko

“Tim Maroko ini bermain di level (maqom) tertinggi dan membuktikan pada dunia bahwa tidak ada yang mustahil,” puji mantan punggawa timnas Maroko Abderrazak Khairi.

Kesuksesan Maroko mengukir sejarah dalam World Cup bukanlah karena faktor hoki. Tapi ada strategi yang berhasil dieksekusi. Pelatih Maroko @walid.regragui menyebutnya Milkshake Maroko.

Apa itu Milkshake Maroko?

Campuran dari fasilitas timnas yang berkelas, pemain lokal berbakat, dan diaspora bertalenta.

Fasilitas ter-ajib milik Maroko adalah Mohamed VI Football Complex, seluas 30 hektar (terbesar di Afrika) dan senilai Rp 1 Triliun. Fasilitas bikinan sultan ini memiliki 8 lapangan standar FIFA (termasuk indoor), gedung medis, hingga asrama bin hotel kelas wahid.

Lalu ada Mohamed VI Football Academy guna menggembleng talenta terbaik Maroko di usia 12-18 tahun. Fasilitas yang dibangun pada 2009 itu rutin mencetak pemain timnas mumpuni. Misalnnya, bek @nayefaguerd and @ennesyri15 yang tandukannya setinggi 2.78 m memaksa bola bersarang di gawang Portugal.

Nah, para pemain terbaik kelahiran Maroko lalu dipadukan dengan pemain diasporanya. Di antaranya: Kapten Maroko @romain.saiss.27 yang lahir di Prancis, @achrafhakimi di Spanyol, @achrafhakimi dan @sofyanamrabat di Belanda.

Mazhab Pelatih Regragui sederhana: “Setiap orang keturunan Maroko adalah orang Maroko […] Para pemain harus bersatu dan berjuang mati-matian untuk Maroko – terlepas dia lahir di mana.”

Awalnya sang Pelatih dikritik atas kebijakannya memanggil banyak pemain diaspora. Sebagian bahkan mengumpat pelatih kelahiran Prancis itu dengan julukan “Kepala Alpukat”, tapi kini mereka bertaubat dan menjulukinya “Mourinhonya Maroko”.

Akankah Milkshake Maroko membuat mukjizat lagi dengan mengalahkan @leomessi si Magis?

Akahkah “tiki-takwa” dan doa ibunda kembali menggetarkan Piala Dunia?

Apapun hasilnya, mpok @shakira sudah wangsit ngetweet, “This time for Africa.”

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩