Tekan ESC untuk keluar

Silu-Man

Dulu sebelum era Usamah bin Laden, ada seorang teroris lokal nan jenius yang diburu mati-matian oleh pemerintah Amerika.

Dijuluki Unabomber, sang pelaku mengirim bom ke orang-orang yang ia pikir mengancam kelangsungan lingkungan dan bumi. Walhasil, tiga orang tewas dan puluhan luka-luka akibat kiriman bom paket kreasinya.

Puluhan tahun FBI mencari Unabomber. Dan jutaan dollar pun ditawarkan bagi siapa saja yang dapat membantu FBI dan laskarnya menemukannya. Setelah sekian lama, yang FBI punya cuma sketsa pria berkumis dan berkaca mata.

Unabomber memang lihai dan licin. Sebelum menyendiri di pelosok Montana, dia dulunya adalah profesor Matematika jebolan Harvard dan University of Michingan. Tidak kaleng-kaleng, memang. Bagai siluman, dia berhasil tak “terdeteksi” selama 18 tahun–melebihi Djoko Tjandra dan Harun Masiku.

Tapi akhirnya Unabomer, yang bernama asli Ted Kaczynski, tertangkap karena “kesalahannya” sendiri. Dia kepedean mengirim manifestonya ke FBI yang kemudian men-sharenya ke publik.

Cara penulisan tiap individu itu memang khas dan sulit ditutupi. Alih-alih ingin mempromosikan ideologinya, tulisan Ted justru dikenali oleh adiknya yang akhirnya melapor ke Sambo dan Satgasusnya, eh salah, FBI.

Singkat cerita, Ted akhirnya tertangkap karena tulisannya. “Tulisanmu harimaumu,” kurang lebih begitu pesan moralnya.

Nah, membaca tulisan hacker viral B*or*a itu rasanya gimana ya–kayak ada yang menggelitik. Ada bahasa Inggris ala Google Translate, ada preposisi yang janggal, ada susunan kalimat yang Indo gitu lho.

Jangan-jangan dia (dan tim) orang Indonesia. Atau dia justru sudah belajar dari Ted untuk mengaburkan “warnanya” dengan berpura-pura Indonesia.

Apa pun itu, @lordranggaofficial dimohon berkenan turun tangan. Pasalnya, Tatanan Dunia Baru ini dan segala Empire-nya jadi taruhannya.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩