“Dari para pemain muda yang ada di gambar ini, Ajax telah meraup setidaknya 100 juta Euro (Rp.1,5 triliun) dalam beberapa tahun,” ujar Kelvin Duffree, salah satu pelatih Ajax muda, sambil menunjuk gambar pemain jebolan Ajax yang terpasang di bangku penonton.
Kelvin berbicara apa adanya. Ajax Youth Academy memang dikenal sebagai salah satu yang terbaik, jika tidak, yang terbaik di dunia.
Ajax mengandalkan sebuah sistem yang disebut TIPS (Technique, Insight, Personality and Speed). Ada sepuluh kriteria dari setiap bagian. P dan S umumnya bersifat bawaan (natural talent), tapi T dan I dapat dipupuk lebih lanjut.
Tujuan Ajax Youth Academy jelas dan tegas: mencetak pemain muda berbakat yang akan menjadi pesepakbola papan atas di dunia.
“Di sini para pemain muda dari berbagai belahan dunia ditempa untuk menjadi yang terbaik dan meraih kesuksesan sebagai pesepakbola baik untuk tim senior Ajax maupun di tempat lain,” kata Kelvin sambil menunjuk foto Wesley Sneijder, Dennis Bergkamp, dan bintang-bintang lain jebolan Ajax.
Di awal tur saya melawati beberapa senior scout yang sedang duduk memplototi Ajax U-9 latihan. Boleh jadi para pemain cilik yang sedang berlatih awalnya diboyong oleh para scout tersebut.
Ada satu pemain berkulit hitam yang sedang ikut trial. Saya tak sempat bertanya dari mana. Namun, yang jelas tim Ajax muda sejak awal sudah berisi pemain multi-kultural, jika tidak, multi-nasional.
“Ajax memiliki sekitar 115 scout di Belanda,” kata Kelvin.
“Hah, di Belanda saja atau di seluruh dunia?” tanya saya kaget dan ingin memastikan.
“115 scout di Belanda. Untuk seluruh dunia saya tidak tahu berapa jumlahnya,” jawab Kelvin.
Untuk negara yang jumlah penduduknya “hanya” setengah dari jumlah penduduk JABODETABEK, tentunya 115 scout adalah jumlah yang banyak. Sepertinya mereka betul-betul menyisir Belanda untuk mencari “wonderkids”. The next Johan Cruyff atau Van Basten.
Tak jauh dari tempat kami berdiri, ada satu pemain keturunan Indonesia, Maarten IJsselstein, sedang berlatih. Kami pun berjalan ke sana.
BERSAMBUNG