Tekan ESC untuk keluar

TIDAK TAHU BERTERIMA KASIH

Ada sebuah fabel dari Ethiopia yang sarat makna. Panjang memang bacanya, tapi insyaAllah dalam isinya. Begini ceritanya:
Seseorang laki-laki sedang berjalan di hutan dan melihat ular yang sedang kepanasan dan keletihan.
“Wahai manusia, maukah kamu menolongku keluar dari hutan ini? Aku tak punya kaki sepertimu dan aku betul-betul keletihan dan kepanasan,” pinta si ular.
Karena iba, laki-laki itu pun menyanggupi dan meletakkan ular itu di kepalanya. “Saling membantu sesama,” ujar laki-laki itu dalam hati. “Toh, tujuannya sama.”
Setelah mereka keluar dari hutan dengan selamat, anehnya si ular enggan turun dari kepala laki-laki itu.
“Tolong,” kata si lelaki kepada ular itu. “Tolong, turun dari kepalaku sekarang. Aku telah membawamu jauh. Aku lelah, dan aku tidak bisa membawamu di kepalaku lagi.”
Namun, si ular malah marah.
“Tidak,” katanya. “Aku tidak memintamu untuk meletakkanku di kepalamu. Itu adalah idemu. Aku ingin tinggal di sini. Jangan mencoba melepaskanku. Jika kamu melakukannya, aku akan menggigitmu, dan gigitanku sangat beracun.”
Kepala ular itu berada di dekat wajah laki-laki itu. Ia bisa melihat mata kecil ular yang marah, dan lidah ular yang panjang. Dia pun ketakutan.
“Ampun,” kata laki-laki itu. “Tolong jangan gigit aku. Ayo kita pergi dan mencari hakim yang adil untuk memutuskan perselisihan kita.”
Ular itu setuju, dan mereka pun pergi mencari hakim. Pertama, mereka bertemu seekor gajah.
“Ular itu terbaring lemah dan aku ingin membantunya,” kata lelaki itu. “Aku meletakkannya di atas kepalaku, dan aku menggendongnya untuk keluar dari hutan. Tetapi ular itu tidak tahu berterima kasih. Setelah keluar dari hutan, dia ingin tetap berada di kepalaku. Jika aku lepaskan dia, dia akan menggigitku. Apakah aku yang benar, atau ular yang benar?”
Gajah menatap si ular dengan saksama.
“Aku tahu hewan ini,” gumam gajah di dalam hati. “Gigitannya sangat beracun, bahkan bisa membunuh hewan besar sepertiku. Tapi manusia itu kecil dan lemah. Dia tidak bisa menyakitiku.”
“Ular yang benar,” ujar gajah. “Dia tidak meminta bantuanmu. Kamu mengundangnya untuk naik di atas kepalamu. Kamu tidak bisa memintanya pergi. Biarkan ular itu tinggal.”
Ular itu pun senang.
“Tuh kan!” kata ular pada lelaki itu. “Aku benar, dan kamu salah.”
“Ayo kita tanya binatang lain yang lebih bijak,” kata lelaki itu. “Di sana ada singa, yuk kita tanya dia.”
Percaya diri, ular itu pun menyanggupi.
Si laki-laki itu pun menceritakan ceritanya sama persis. Dan si singa pun mendengarkan dengan saksama.
“Ular itu sangat berbahaya,” gumam si singa dalam hati. “Aku tidak ingin menjadi musuhnya. Dia bisa datang dan menggigitku saat aku tertidur. Tapi manusia itu kecil dan lemah. Aku tidak takut padanya.”
“Ular yang benar,” ujar singa. “Biarkan dia tetap di kepalamu.”
“Nah kan,” kata ular itu kepada lelaki itu. “Apakah itu cukup untukmu? Apakah kamu setuju denganku sekarang?”
“Tidak,” kata lelaki itu. “Aku tidak setuju denganmu. Mari kita tanya kepada hewan lain.”
Semakin percaya diri, si ular lagi-lagi setuju.
Akhirnya lelaki dan ular itu menceritakan “prahara” mereka kepada macan tutul, hyena, babon, hingga kerbau. Mereka semua takut pada ular itu dan memutuskan bahwa ularlah yang benar.
“Sudah puaskah kau?” tanya ular kepada laki-laki malang itu.
“Ada satu hewan bijak yang belum kita tanya,” ujar laki-laki itu. “Yuk kita tanya kepada rubah, jika memang dia memutuskan kamu yang benar maka aku akan pasrah.”
Rubah dikenal oleh warga hutan sebagai hewan yang cerdik nan bijak. Namun, si ular begitu percaya diri dan tidak berkeberatan. “Yuk, kita temui rubah,” ujarnya.
“Kenapa kalian bertengkar?” tanya rubah.
“Aku kasihan pada ular itu,” lelaki itu memulai ceritanya. “Aku meletakkannya di atas kepalaku, dan aku menggendongnya untuk keluar dari hutan. Tetapi ular itu tidak tahu berterima kasih. Dia menolak turun dari kepalaku sampai mengancam akan mematukku dengan bisanya.”
“Aku mengerti,” kata rubah. “Nah, ceritakan lagi kisahmu. Aku tidak mengerti semuanya. Mulailah lagi dari awal.”
“Jadi,” lelaki itu memulai lagi. “Aku sedang berjalan di hutan, dan ….”
“Berhenti!” teriak rubah. “Aku tidak bisa mendengarmu dengan baik. Kamu tidak bisa berbicara dengan mudah dengan ular di kepalamu. Ekornya melingkari lehermu. Itu menghentikan suaramu keluar. Turunlah, ular, dan duduk di sampingku. Lalu aku bisa dengarkan ceritamu, dan memberikan keputusanku.”
Lalu ular itu turun dari kepala lelaki itu, dan duduk di tanah bersebelahan dengan rubah.
Rubah itu lalu lompat menjauh sambil berteriak, “Wahai manusia bodoh,cepat ambil ranting kayu dan bunuh ular itu.”
Sadar dengan kecerdikan rubah, lelaki itu pun langsung mengambil kayu besar dan menusukannya ke tubuh ular yang tak bisa lari. Ular itu pun tewas seketika.
“Terima kasih, Rubah!” ujar lelaki itu. “Kamu telah menyelamatkan hidupku. Tolong, tunggu di sini, dan aku akan membawa domba terbaikku untukmu.”
Ia pun pulang mengambil seekor domba. Lalu membawa domba itu bersama anjing gembala miliknya.
Dalam perjalanan, lelaki itu berpikir, “Domba adalah hadiah besar, dan aku orang miskin. Hadiah ini terlalu mewah untuk rubah. Aku tidak bisa memberi rubah seekor domba.”
Dari jauh, rubah begitu senang melihat lelaki itu datang membawa domba. Ia tidak mempedulikan ada anjing besar yang datang bersama lelaki itu. “Ah, itu pasti anjing gembala yang jinak.”
Ketika mendekat, lelaki itu melepaskan anjingnya. Dengan cepat anjing itu melompat dan menggigit leher rubah.
Rubah melihat ke langit, dan berkata sebelum ajal, “Semua binatang tidak tahu berterima kasih, tetapi manusialah yang paling tidak tahu berterima kasih.”
~ Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang tahu berterima kasih (QS. Saba’ [34]: 13)
~ You’ll end up really disappointed if you think people will do for you as you do for them. Not everyone has the same heart as you.
@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩