Tekan ESC untuk keluar

KALA TIM GARUDA TINGKATKAN IMUN NASIONAL SAAT PANDEMI

Ada gol, ada gol balasan, ada kartu merah, ada penalti, ada drama, ada pertandingan sempurna malam ini antara tim nasional sepakbola Indonesia dan Singapura di Piala AFF, Sabtu (25/12/21). Terlepas Anda adalah pecinta sepakbola nasional atau penonton dadakan, besar kemungkinan jantung Anda berdebar-debar menyimak pertandingan tadi selama 120 menit. Bagaimana tidak?
Indonesia seharusnya tidak perlu bersusah-payah hingga sedemikian rupa melawan Singapura. Gaya permainan fluid counterattack timnas Indonesia yang ciamik ditambah dua kartu merah yang diterima oleh tim Singapura seharusnya sudah lebih dari cukup bagi tim Garuda untuk menyudahi perlawanan Singapura dalam tempo 90 menit.
Namun demikian, begitulah sepakbola, terkadang sulit diterka. Penjaga gawang Singapura bermain begitu heroik malam ini dalam menyelamatkan timnya dari kekalahan (yang jauh lebih besar).
Selain itu, para pemain depan Indonesia bermain kurang klinis malam ini. Dari 35 tendangan timnas Indonesia hanya 14 yang mengenai target atau sekitar 40%. Singapura lebih klinis dalam hal ini, dari 15 tembakan 9 di antaranya mengenai target atau sekitar 60%.
Strategi fluid counterattack timnas Indonesia mensyaratkan clinical finishing agar berhasil. Shin Tae-yong tentunya paham betul akan hal ini. Pastinya dia pun tidak sabar untuk segera men-drill timnas agar lebih klinis di laga Final Piala AFF. Begitu pula para penonton Indonesia, mereka pun tidak sabar untuk mendukung kembali timnas kesayangannya.
Di tengah keterbatasan mobilitas selama pandemi, kejenuhan, serte kelesuan ekonomi, timnas Indonesia justru hadir memberi harapan dan penyemangat bagi bangsa Indonesia. Never-say-die attitude yang ditunjukkan oleh timnas memberi asa bahwa kita bisa juara untuk pertama kalinya di piala AFF.
Lebih dari itu, semangat pantang menyerah timnas Indonesia seakan menyemangati segenap anak bangsa untuk terus bangkit dari tantangan pandemi.
Terima kasih atas dramanya malam ini, timnas Indonesia. Sungguh suatu rollercoaster yang menyenangkan dan membanggakan. Doa dan asa kami untukmu. Kami percaya kalian akan membuat sejarah baru yang membanggakan dan menggelorakan (imun) seluruh anak bangsa di tengah pandemi. Garuda, juara!
@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩