Ketika pasukan Timur Lenk mulai memasuki daerah Turki, muncullah wabah yang menyebar ke banyak desa, termasuk desa di mana Mullah Nasruddin tinggal.
Kepala desa meminta warganya untuk tinggal di rumah sampai wabah mereda atau setidaknya sampai penyebab wabah diketahui.
“Warga Aksehir, tinggallah kalian di rumah sementara waktu,” pinta kepala desa kepada warganya.
Sebagian besar warga desa patuh, tapi ada sebagian kecil yang tidak.
“Kami tak takut wabah, insyaAllah aman beraktivitas seperti biasa. Allah pasti melindungi,” jawab sebagian warga yakin.
“Tapi sudah banyak hamba-hamba Allah yang wafat karena wabah, kita harus waspada,” ujar kepala desa coba meyakinkan.
Sayangnya imbauan kepala desa tetap tak dipatuhi. Ia pun akhirnya sowan ke Mullah Nasruddin untuk minta bantuan.
“Aku ada ide,” ujar Nasruddin. “Undanglah tiga warga desa yang tak patuh ke rumahku untuk makan malam.”
Dengan mengendarai keledai, ketiga orang itu pun datang ke rumah Nasruddin. Sebagai tuan rumah yang baik, Nasruddin langsung memerintahkan anak buahnya untuk membawa keledai tersebut ke kandang.
Tak lama kemudian, Nasruddin pun menyuguhi mereka dengan segelas air.
“Silakan diminum,” kata Nasruddin.
Baru saja air itu masuk ke mulut ketiga orang itu, mereka langsung memuntahkannya.
“Air apa ini?” tanya ketiga tamu Nasruddin. “Warnanya kuning dan baunya amis.”
“Oh ini air dari sungai belakang rumah?” jawab Nasruddin.
“Sudahkah kamu menyaring dan merebusnya?” tanya ketiganya.
“Belum disaring dan direbus, tapi kalian jangan takut sama air. InsyaAllah aman diminum seperti biasa. Allah pasti melindungi,” jawab Nasruddin meniru ucapan mereka sebelumnya ke kepala desa.
Nasruddin lalu mempersilakan tamunya untuk makan paha kambing. Namun, ternyata paha kambing yang disuguhi belum dimasak.
“Paha kambing apa ini, kenapa masih banyak darah, sudahkah kamu membersihkan dan memasaknya?” tanya ketiga tamu Nasruddin sambil melepeh daging mentah berdarah dari mulutnya.
“Belum dibersihkan dan dan dimasak, tapi kamu jangan takut sama paha kambing. InsyaAllah aman dikonsumsi seperti biasa. Allah pasti melindungi,” ujar Nasruddin.
Merasa dipermainkan, ketiga tamu itu pun bergegas keluar. Namun mereka kaget ketika tidak melihat keledai-keledai mereka di kandang.
“Ke mana keledai kami, mengapa kandang ini tidak dikunci, sudahkah kamu mengikat keledai kami?” tanya ketiga tamu Nasruddin.
“Belum diikat dan belum dikunci, tapi kalian jangan takut kehilangan keledai. InsyaAllah aman seperti biasa. Allah pasti melindungi,” ujar Nasruddin.
Ketiga tamu itu pun akhirnya menyadari bahwa sifat tawakal itu harus diawali dengan ikhtiar dalam hal apa pun. Selama ini pun mereka telah melakukannya, tetapi kali ini mereka sedikit melupakannya. Karena apa? Karena musuhnya (wabah penyakit) itu tidak terlihat, jadi rentan disepelekan.
~ Wabah itu laksana api yang membakar sekelilingnya, maka saling menjauhlah kalian (Pidato Amr bin Ash saat Wabah Amwas) .