Saking bermanfaatnya ilmu kedokteran bagi umat manusia, Imam Syafi’i pernah berkata, “Ilmu itu ada dua: ilmu agama dan ilmu kedokteran.”
Rasa hormat Imam Syafi’i terhadap profesi ulama dan dokter tentu beralasan. Jika ulama salah berfatwa, akhirat urusannya. Jika dokter salah diagnosa, nyawa taruhannya.
Untuk itu, baik ulama maupun dokter perlu hati-hati dalam menyampaikan pendapatnya. Bisa fatal akibatnya, apalagi di zaman pandemi.
Hari ini kita membaca bahwa seseorang wafat usai termakan hoax terkait Covid dari salah satu dokter yang sedang viral. Padahal, Surat Tanda Registrasi (STR) milik dokter tersebut sudah tidak aktif sejak 2017, begitu pula keanggotaannya di Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Seharusnya dokter itu sadar bahwa secara etika dia tak pantas mengomentari Covid. Wong dia sendiri juga tak boleh menangani pasien Covid.
Eh, dia malah diberi panggung untuk menyebarkan pendapatnya yang kontroversial. Entah apa alasannya: mengejar ratingkah, kepopulerankah. Akhirnya, (setidaknya) satu nyawa manusia hilang karenanya.
Rasulullah ﷺ mengecam orang yang main dokter-dokteran seperti ini. Beliau ﷺ bersabda:
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ
Siapa yang mengobati sedangkan ia tidak paham mengenai pengobatan, maka dia harus bertanggung jawab (HR. Ibnu Majah no. 3466).