Lagu kebangsaan merupakan salah satu simbol negara yang mengandung nilai identitas suatu bangsa, sejarah, dan perjuangannya. Lagu kebangsaan bertujuan untuk menumbuhkan rasa semangat kebangsaan dan persatuan.
Hampir setiap negara di dunia memiliki lagu kebangsaan. Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Arab Saudi, Bangladesh, Brunei Darussalam, Indonesia, Irak, Malaysia, Maroko, dan Mesir memiliki lagu kebangsaan. Begitu pula dengan negara yang menyebut dirinya secara eksplisit sebagai Republik Islam seperti Afghanistan, Pakistan, dan Mauritania.
Lagu dan musik adalah sesuatu yang sudah lama dikenal manusia, jauh sebelum Rasulullah ﷺ datang. Di tempat turunnya wahyu pertama kali, Mekkah, syair telah menjadi keseharian masyarakat. Syair di zaman tersebut tak hanya disampaikan melalui kata-kata berima, tapi seringkali diiringi rebana, genderang, dan ma’zifah (alat musik petik dari kayu).
Sementara itu lagu kebangsaan mungkin adalah sesuatu yang baru, karena konsep negara-bangsa (nation-state) modern berbeda dengan konsep negara di zaman Rasulullah ﷺ. Oleh karenanya, para ulama berbeda pendapat tentang lagu kebangsaan: ada yang melarang dan ada yang membolehkan.
Sebagian ulama yang menilai musik haram secara mutlak, maka mereka pun mengharamkan lagu kebangsaan. Hukum musik sendiri dalam Islam masih diperdebatkan. Ada ulama yang melarang, ada yang memakruhkan, dan ada yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu.
Ulama salaf cenderung mengharamkan musik. Ulama mazhab Hanbali Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah (w. 751 H) menerangkan:
مذهب أبي حنيفة في ذلك من أشد المذاهب، وقوله فيه من أغلظ الأقوال، وقد صرح أصحابه بتحريم سماع الملاهي كلها كالمزمار والدف، حتى الضرب بالقضيب
Mazhab Abu Hanifah dalam hal ini (melarang musik) adalah yang paling keras. Sudah jelas para pengikut mazhabnya mengharamkan mendengar nyanyian secara menyeluruh, seperti seruling dan rebana, bahkan memukul dengan tongkat.
Dasar argumentasi pengharaman musik menggunakan firman Allah:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍۖ وَّيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ – ٦
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman [31]: 6)
Abu Umamah meriwayatkan bahwa ayat ini turun untuk para penyanyi perempuan. Ibnu Mas’ud ra. juga menafsirkan kata “lahw al-hadis” dengan nyanyian. Selain itu Rasulullah ﷺ juga tidak menyangkal Sayyidina Abu Bakar ra. yang menyebut nyanyian dan tabuhan rebana dengan “mizmar syayathin” (seruling setan).
Imam Al-Mawardi (w. 450 H) mengatakan, “Pendapat yang paling kuat (qaul ashah) dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafii adalah bahwa musik hukumnya makruh. Imam Syafii mengatakan mendengar nyanyian bukanlah perilaku ahli agama dan merusak muruah (kehormatan).
Alasan lain sebagian ulama melarang menyanyikan lagu kebangsaan adalah bergabungnya perempuan dan laki-laki di suatu tempat (ikhtilath).
Menurut Ensiklopedia Fikih Kuwait, ada tiga keadaan yang dapat disebut ikhtilath:
1. Berduaan laki-laki dan perempuan bukan mahram di tempat yang sunyi, dan melihatnya dengan nafsu.
2. Menghilangkan sikap malu dan tidak menghormati perempuan.
3. Melakukan perbuatan sia-sia, dan bersentuhan badan antara laki-laki dan perempuan seperti dalam perayaan dan lain-lain.
Ikhtilath dengan tiga kondisi di atas diharamkan. Namun ada beberapa pengecualian, seperti shalat berjamaah, dokter laki-laki menyentuh bagian tubuh perempuan untuk mengobati, dan ibadah haji dan umrah. Imam Malik juga membolehkan perempuan bermuamalah jual-beli dengan laki-laki.
Alasan selanjutnya yang dipakai untuk mengharamkan lagu kebangsaan adalah pengagungan terhadap selain Allah dan menyerupai tradisi non-muslim.
Ada dua hal yang membuat lagu kebangsaan terlihat seperti pengagungan. Pertama, karena lirik yang mengandung makna pengagungan. Yang kedua adalah sikap berdiri ketika menyanyikan lagu kebangsaan.
Pendapat yang membolehkan
Ulama yang membolehkan musik bersandar kepada beberapa dalil, di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra. bahwa Rasulullah ﷺ masuk ke rumah, dan ketika itu ada dua budak wanita sedang menyanyikan nyanyian Buats (peperangan antara suku Aus dan Khazraj). Lalu beliau ﷺ pergi berbaring di kasur dan mengalihkan wajah beliau ﷺ.
Tak lama kemudian masuk Sayyidina Abu Bakar ra. dan beliau memarahi Aisyah seraya berkata, “Seruling setan di sisi Rasulullah?”
Lalu Rasulullah ﷺ menghadapkan wajahnya kepada Abu Bakar dan bersabda, “Biarkan keduanya (bernyanyi)” (lihat HR. Bukhari no. 949 & Muslim no. 892).
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa riwayat di atas yang terdapat di Sahih Bukhari dan Muslim menggarisbawahi kebolehan bernyanyi dan menabuh rebana.
Sebagian ulama juga mengatakan bahwa bila nyanyian Buats yang berisi perang antara suku Aus dan Khazraj saja boleh dinyanyikan, apalagi nyanyian yang bersifat mempersatukan seperti lagu kebangsaan.
Selanjutnya, pada hari pernikahan Ar-Rabi’ binti Ma’udz ra., Rasulullah ﷺ datang dan duduk dengan diiringi tabuhan rebana anak-anak perempuan yang menyanyikan lagu duka cita atas kepergian pendahulu mereka di Perang Badar (HR. Bukhari no. 5147).
Pernah pula Sayyidah Aisyah ra. mengatur pernikahan kerabatnya dari Ansar, lalu Rasulullah ﷺ menanyakan kepada Aisyah apakah beliau (Aisyah) mengirim penyanyi untuk acara pernikahan tersebut, karena orang Ansar suka dengan itu (lihat HR. Ibnu Majah no. 1900).
Oleh karenanya, ada sebagian ulama yang membolehkan musik. Di antaranya adalah ulama mazhab Zahiri Ibnu Hazm Az-Zahiri (w. 456 H), mufassir Ibnu Al-’Arabi (w. 543 H), dan Imam Al-Ghazali.
Mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir, Syeikh Mahmud Syaltut (w. 1963 M) juga menerangkan kebolehan mendengarkan dan bermain musik:
كان الحكم عنده في سماع الأصوات والآلات المطربة أنه إذا اقترن بشيء من المحرمات، أو اتخذ وسيلة للمحرمات، أو أوقع في المحرمات كان حراماً، وأنه إذا سلم من كل ذلك كان مباحاً في حضوره وسماعه وتعلمه.
Menurut Imam An-Nabulsi (dari mazhab Hanafi), mendengarkan nyanyian-nyanyian dan alat musik jika berdampingan dengan hal-hal yang haram, atau menjadi media kepada yang haram, atau di tempat yang haram, maka hukumnya haram. Adapun jika terbebas dari itu semua, hukumnya mubah (boleh) untuk hadir, mendengarkan, dan mempelajarinya.
Dewan Fatwa Mesir juga berkomentar mengenai hal ini:
فالموسيقى والغناء المباح: ما كان دينيًّا أو وطنيًّا أو كان إظهارًا للسرورِ والفرحِ في الأعيادِ والمناسبات، مع مراعاة عدم اختلاط الرجال بالنساءِ، وأن تكون الأغاني خاليةً من الفُحش والفجور وألا تشمل على محرمٍ كالخمرِ والخلاعةِ، وألا يكون مُحرِّكًا للغرائز أو مثيرًا للشهوات، وأن تكون المعاني التي يتضمنها الغناء عفيفةً وشريفةً
Musik dan lagu adalah mubah, selama bersifat agamis, nasionalis, atau untuk menunjukkan kebahagiaan pada perayaan-perayaan, dengan meniadakan ikhtilath, bebas dari perkara-perkara maksiat dan haram seperti minuman keras dan pesta pora, tidak ada tarian-tarian yang menimbulkan syahwat, dan makna yang terkandung dalam lagu harus baik.
Adapun lagu kebangsaan bukanlah lagu yang ditujukan untuk bermaksiat atau mengarahkan kepada hal-hal yang haram, melainkan untuk memupuk rasa persatuan bangsa, menyemangati, mengingat identitas bangsa, dan kecintaan kepada tanah air.
Oleh karena itu, banyak ulama kontemporer yang membolehkan menyanyikan lagu kebangsaan. Di antaranya adalah pakar fikih dari Suriah Syeikh Wahbah Zuhaili (w. 2015 M). Beliau berkata:
إن الأغاني الوطنية أو الداعية إلى فضيلة، أو جهاد، لا مانع منها، بشرط عدم الاختلاط، وستر أجزاء المرأة ما عدا الوجه والكفين.
Lagu-lagu kebangsaan atau yang mengajak kepada keutamaan, perjuangan, tidak dilarang, dengan syarat tidak bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, dan dengan menutupi bagian tubuh perempuan selain wajah dan kedua telapak tangan.
Meskipun konsep negara-bangsa saat ini berbeda dengan yang ada di zaman Rasulullah ﷺ, tetapi beliau ﷺ pernah menyiratkan rasa cinta tanah air atau kampung halaman dalam sunnahnya.
Misalnya, sebelum Rasulullah ﷺ meninggalkan kota Mekkah, Abdullah bin ‘Adiy bin Hamra’ ra. melihat beliau berhenti di Hazwarah (kawasan pasar di Mekkah) menunggangi tunggangannya, lantas beliau ﷺ bersabda:
وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَيَّ وَاللَّهِ لَوْلاَ أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ
Demi Allah, engkau (Mekkah) adalah sebaik-baik tanah Allah yang aku cintai. Demi Allah, jika saja aku tidak diusir keluar darimu, maka aku akan tetap tinggal (HR. Ibnu Majah no. 3108; Imam Ibnu Hibban menilai hadis ini sahih).
Di zaman ini, setiap orang hidup di bawah perlindungan suatu tatanan yang disebut negara. Dan biasanya setiap negara mengidentifikasikan dirinya masing-masing dengan simbol negara berupa: bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Di Indonesia, misalnya, hal ini diatur oleh UUD 1945 Pasal 35-36 dan UU Nomor 24 Tahun 2009.
Simbol negara (termasuk lagu kebangsaan) telah menjadi urf atau norma dunia yang diakui. Rasulullah ﷺ juga pernah mengikuti norma internasional yang tidak berseberangan dengan akidah.
Anas bin Malik ra. menceritakan, suatu hari Rasulullah ﷺ hendak mengirim surat kepada Kekaisaran Bizantium (Nasrani). Ketika surat sudah siap dikirimkan, seseorang mengatakan kepada beliau ﷺ bahwa Kekaisaran Bizantium tidak akan membaca surat yang tidak berstempel. Begitulah norma internasionalnya saat itu. Rasulullah ﷺ lalu membuat stempel (cincin) dari perak dan membubuhi surat itu dengan stempel yang bertuliskan “Muhammad Rasulullah” (lihat HR. Bukhari no. 2938 & 3106).
Hadis di atas membuktikan bahwa Rasulullah ﷺ tidak serta-merta menolak norma yang ada. Perbuatan beliau ﷺ juga sama sekali tidak dapat dikatakan menyerupai kebiasaan atau model interaksi non-muslim (tasyabbuh).
Sahabat KESAN yang budiman, lagu kebangsaan adalah urf (kebiasaan) yang berlaku umum di hampir seluruh negara, termasuk di negara-negara Islam. Tujuan menyanyikan lagu kebangsaan bukanlah untuk maksiat, tetapi untuk menumbuhkan rasa semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan persatuan.
Oleh karenanya, di negara-negara Islam saat ini, para ulamanya membolehkan menyanyikan lagu kebangsaan selama itu tidak mengandung kesyirikan dan maksiat, serta dengan prosedur yang juga diperbolehkan secara syariat (seperti tidak ikhtilath dan tidak diiringi pesta minuman keras).
Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.
Referensi: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah; Ighatsah Al-Lahfan min Mashayid, Wahbah Az-Zuhaili; Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Al-Ghazali; Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, Ibnu Hajar Al-Asqalani; Fath Al-Bari.