Tekan ESC untuk keluar

BARACK OBAMA: TENTANG ISRAEL DAN AMERIKA

“Mengapa Amerika Serikat begitu pro Israel?” pertanyaan ini mungkin seringkali kita dengar.

Terlebih lagi, sudah 45 kali Amerika menggunakan hak vetonya di PBB demi mendukung Israel (dan mengesampingkan Palestina).

Daripada kita berspekulasi atau berkonspirasi, yuk kita dengar jawaban langsung dari Presiden Barack Obama, presiden yang mengalami “panas-dingin” dengan Israel dan sekutunya.

Dalam memoirnya, Obama menjelaskan bahwa dukungan kuat Partai Republik terhadap Israel sebagian besar didorong oleh sentimen agama.

“Mayoritas evangelis kulit putih, yang merupakan pendukung terbesar partai Republik,” kata Obama, menghendaki “terbentuknya dan perluasan Israel sebagai pemenuhan janji Tuhan kepada Abraham dan menandakan kedatangan Kristus yang akan datang.”

Sehingga kata Obama, jangankan mau peduli terhadap penderitaan warga Palestina, pura-pura peduli pun mereka tak mau. Karena ada faktor keimanan dan kehendak konsituen di sini.

Lalu bagaimana dengan partainya Obama sendiri, partai Demokrat?

Obama menjelakan bahwa pentolan partai Demokrat yang paling progresif sekalipun enggan terlihat loyo mendukung Israel. Pasalnya, “banyak dari mereka adalah orang Yahudi sendiri atau mewakili konstituen Yahudi yang cukup besar.”

Nah, di balik itu semua rupanya ada faktor lain yang mendorong kepatuhan para politikus Amerika agar tetap “istikamah” mendukung Israel.

“Politikus kedua partai khawatir berhadapan dengan Komite Urusan Publik Israel Amerika (AIPAC), sebuah organisasi LOBI bipartisan yang kuat dan didedikasikan untuk memastikan dukungan AS yang TAK TERGOYAHKAN untuk Israel,” ungkap Obama.

Lalu seberapa kuat AIPAC ini?

“Pengaruh AIPAC dapat dirasakan di hampir SETIAP DISTRIK kongres di negara ini, dan hampir SETIAP POLITIKUS di Washington—termasuk saya—mengandalkan anggota AIPAC sebagai pendukung dan DONATUR utama mereka,” aku Obama.

Lalu bagaimana kalau seorang politikus bertentangan dengan AIPAC atau berani mengkritik kebijakan Israel?

“Mereka berisiko dicap sebagai ‘anti-Israel’ atau bahkan anti-Semit, dan akan menghadapi lawan yang DIDANAI dengan baik dalam pemilihan berikutnya,” pungkas Obama.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩