Tekan ESC untuk keluar

KONTRIBUSI DIASPORA INDONESIA DI SELANDIA BARU: KISAH SUKSES DALAM MENGHARUMKAN NAMA BANGSA

Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-76, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Wellington menyelenggarakan seminar daring bertema “Kontribusi Diaspora Indonesia dalam Mengharumkan Nama Indonesia: Kisah Sukses Diaspora Indonesia di Selandia Baru” pada 9 Agustus 2021. Seminar ini menghadirkan empat narasumber Warga Negara Indonesia (WNI) yang sukses di Selandia Baru, yaitu Dr. Reza Abdul Jabbar, Aditya Gusman, Reynold Tagore, dan Prof. Joko Susilo.

Para Pembicara yang Inspiratif

Seminar ini menampilkan empat pembicara dari berbagai profesi. Dr. Reza Abdul Jabbar adalah seorang pengusaha Dairy Farm yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Usahanya dalam bidang peternakan sapi menghasilkan berbagai produk olahan sapi yang halal dan diminati oleh masyarakat Selandia Baru.

Aditya Gusman adalah seorang peneliti tsunami dan gempa bumi di GNS Science, Selandia Baru. Sejak 2018, Aditya terlibat dalam berbagai penelitian tentang tsunami di berbagai negara seperti Jepang, Indonesia, Selandia Baru, Chile, Meksiko, dan Afrika. Sebagai doktor di bidang Seismologi lulusan Hokkaido University, Jepang, kontribusinya sangat dihargai oleh Pemerintah Selandia Baru.

Reynold Tagore, seorang seniman yang bekerja sebagai texture artist di WETA Digital, Selandia Baru, menunjukkan keahliannya dalam seni digital modeling dan patung-patung dengan detail yang sangat rapi. WETA Studio, tempat Reynold bekerja, telah menghasilkan berbagai film besar di Amerika Serikat.

Prof. Joko Susilo, seorang dalang wayang internasional dan dosen di Universitas Otago, turut serta memberikan pandangan dari sisi seni dan budaya. Keberhasilan para narasumber ini menunjukkan bahwa diaspora Indonesia memiliki kualitas dan daya saing yang tinggi di kancah internasional.

Kunci Kesuksesan Diaspora Indonesia

Dalam seminar ini, para narasumber membagikan tips tentang pentingnya keberanian dalam mengambil risiko dan menekuni bidang-bidang yang menjadi sektor kunci di Selandia Baru. Menurut Duta Besar Tantowi Yahya, kesuksesan mereka tidak terlepas dari keberanian dan kompetensi yang dimiliki, serta kemampuan untuk mengidentifikasi peluang di negeri orang.

Duta Besar Tantowi Yahya juga menyampaikan bahwa kesuksesan diaspora Indonesia di Selandia Baru membuktikan bahwa sumber daya manusia Indonesia memiliki daya saing global. Kesuksesan ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia untuk berani bermimpi besar dan menekuni bidang yang mereka minati.

Menyongsong Masa Depan Indonesia yang Tangguh

Duta Besar Tantowi Yahya mengungkapkan kekagumannya terhadap para narasumber yang tetap berpaspor Indonesia. Hal ini menunjukkan keterikatan yang kuat dengan tanah kelahiran dan potensi untuk kembali ke Indonesia membangun bangsa. Dalam jangka panjang, kontribusi diaspora Indonesia di luar negeri diharapkan dapat berperan dalam memajukan Indonesia menuju negara yang tangguh dan tumbuh.

Seminar ini diikuti oleh 157 peserta dari berbagai kalangan, termasuk dari Indonesia, Selandia Baru, dan negara-negara lainnya. Kehadiran para peserta yang antusias menunjukkan tingginya minat dan dukungan terhadap kontribusi diaspora Indonesia dalam mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.

Kontribusi diaspora Indonesia di Selandia Baru tidak hanya membanggakan, tetapi juga memberikan inspirasi bagi masyarakat Indonesia di mana pun mereka berada. Keberhasilan mereka menunjukkan bahwa dengan keberanian, kompetensi, dan ketekunan, diaspora Indonesia dapat bersaing dan sukses di tingkat global. Seminar ini menjadi bukti bahwa peringatan HUT Kemerdekaan RI dapat dijadikan momentum untuk merayakan dan mengapresiasi kontribusi diaspora Indonesia di luar negeri.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩