Kalau ada satu nama aviator paling beken sedunia di tahun 1930-an, mungkin Charles Lindbergh adalah orangnya.
Maklum, penerbang asal Amerika Serikat tersebut sukses menjadi penerbang solo pertama yang melintasi Samudera Atlantik tanpa berhenti.
Petinggi Nazi saat itu, Hermann Göring, menyadari pentingnya “good public relations” di tengah diskriminasi mereka terhadap etnis Yahudi.
Maka, diundanglah Lindbergh untuk tur dan “sharing session” di pabrik-pabrik pesawat.
Jurnalis William Shirer menulis, “Keluarga Lindbergh ada di sini [di Berlin], dan Nazi, yang dipimpin oleh Göring, memanfaatkan betul kehadiran mereka.”
Langkah Göring berhasil. Kunjungan Lindbergh membantu meningkatkan kredibilitas Nazi yang terpuruk serta memperkuat propaganda mereka. Bahwa teknologi yang mereka kembangkan itu bertujuan “baik.”
Sedangkan bagi Lindbergh (yang akhirnya “terpukau” dengan Nazi), ia kehilangan kredibilitasnya di dalam negeri. Bahkan ada yang mencap dia “pengkhianat.”
Dalam ucapan seorang sejarawan, “Butuh waktu bertahun- tahun hingga nama ‘Lindbergh’ dapat kembali diasosiasikan dengan ‘kebaikan’ apalagi ‘pahlawan.’
“Betul juga kata ahli laundry, “Kain bersih akan ternoda jika ditempatkan bersama kain kotor.”