John F. Kennedy tak hanya dikenal sebagai Presiden Amerika Serikat yang karismatik, menawan, dan visioner, tapi juga pemimpin yang bertanggung jawab.
Pada April 1961, Kennedy mengizinkan operasi CIA untuk menggulingkan pemerintahan Fidel Castro di Kuba. Operasi ini, yang sudah dirancang sejak masa kepresidenan sebelumnya, dikenal sebagai Invasi Teluk Babi.
Di atas kertas, operasi ini seolah begitu matang direncanakan sehingga tampak berpeluang besar untuk sukses. Namun, kenyataan berbicara lain.
Rencana invasi ini ternyata sudah lama bocor, dan pasukan yang telah dilatih oleh CIA dengan mudah ditangkap atau dibunuh.
Amerika Serikat, sebagai dalang operasi, harus menanggung malu serta kritik internasional. Belum lagi, ketegangan diplomatik yang meningkat antara Paman Sam dan Paman Castro.
Di sinilah karakter kepemimpinan Kennedy diuji.
Alih-alih menyalahkan CIA, para penasihatnya, atau administrasi sebelumnya, Kennedy mengambil tanggung jawab penuh atas kegagalan tersebut.
“Kemenangan memiliki banyak ayah, tapi kegagalan adalah anak yatim,” kata Kennedy memulai pidatonya yang terkenal.
Kennedy menegaskan bahwa dalam hal ini, ia adalah satu-satunya yang bertanggung jawab.
Keputusan Kennedy untuk mengambil alih tanggung jawab sepenuhnya tak hanya sekadar perkara keberanian, tetapi juga strategi kepemimpinan yang tepat.
Dengan melindungi bawahannya, ia membangun kepercayaan dan loyalitas di dalam administrasinya.
Sebab, kepemimpinan bukan hanya tentang mengambil kredit atas kesuksesan, tetapi juga berani berdiri di garis terdepan ketika menghadapi kegagalan.
Inilah yang di kemudian hari disebut sebagai extreme ownership.