Ketika mendengar kata ‘Machiavelli’ atau frasa ‘politisi Machiavelian’, mungkin terbayang sosok politisi cerdik nan culas yang siap menghalalkan segala cara—the end justifies the means.
Buku The Prince memang seolah mencitrakan Niccolò Machiavelli sebagai seorang yang penuh tipu daya dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Namun, kehidupan Machiavelli ternyata jauh berbeda dari citra ini. Alih-alih culas, dia adalah politisi berintegritas.
Ketika diselidiki atas tuduhan korupsi, justru Machiavelli ketahuan sering menomboki pengeluaran negara. Akibatnya, dia malah menerima reimbursement dari negara.
Berbeda dengan koleganya yang tiba-tiba kaya di luar nalar setelah masuk pemerintahan, Machiavelli malah boncos.
“Loyalitas dan kejujuranku,” kata Machiavelli, “terbukti dengan kemiskinanku.”
Machiavelli juga dikenal sebagai patriot: ia pernah dinas di garda terdepan selama perang dengan Pisa.
Saat pemerintah Florence hendak memindahkannya ke lokasi yang lebih aman, Machiavelli menolak, dengan alasan bahwa dia memilih untuk menghadapi bahaya demi negara.
Apesnya, Machiavelli justru dipenjara dan disiksa oleh penguasa baru, Medici, karena tuduhan palsu terlibat dalam konspirasi. Nyatanya, dia bersih.
Machiavelli akhirnya menulis The Prince sebagai surat lamaran dia untuk Medici. Harapannya, dia diberi kesempatan mengabdi di pemerintahan yang baru.
Apesnya, dia dicap sebagai “orangnya” rezim sebelumnya dan tak diberi kesempatan lagi.
Inilah ironi Machiavelli: seorang yang sebetulnya jujur nan baik, tetapi terjebak dalam permainan politik yang kejam dan penuh intrik.