
Di tahun 1980-an, lebih dari 1 juta rakyat Ethiopia meninggal dunia karena kekurangan pangan.
Bayangkan: anak-anak kecil meninggal di pangkuan ibunya, tanpa sebulir gandum pun untuk mengisi perut mungilnya.
Bayangkan: seorang ayah menangis pilu, tak berdaya, mendengar rintihan lapar anak-anaknya. Sebab ladang yang diandalkan kini kering kerontang, dan tak ada cadangan pangan nasional yang bisa menjadi penyambung kehidupan.
Ini bukan kisah fiksi.
Ini sejarah nyata.
Dan itu terjadi di negeri subur seperti Ethiopia, saat pemerintahnya gagal menyiapkan ketahanan pangan nasional.
Ketika badai kelaparan datang, hanya segelintir kecil negara yang benar-benar peduli.
Sebagian besar dunia hanya bisa menonton dari layar kaca, sementara anak-anak Ethiopia satu per satu menemui ajalnya.
Inilah sebabnya Indonesia harus meraih swasembada pangan.
Ini bukan pilihan. Ini KEHARUSAN.
Sejarah telah mengajarkan — dan kita jangan melupakan.
Karena apa yang terjadi pada bangsa atau peradaban lain—dari Sumeria hingga Ethiopia—bisa terjadi pada kita. Begitulah siklus kehidupan.
Jika krisis pangan global melanda, siapa yang akan memberi makan 280 juta rakyat Indonesia, jika bukan kita sendiri?
Saat krisis terjadi, entah itu akibat perang, perubahan iklim, atau faktor lainnya, belum tentu ada yang mau (cepat) membantu.
Karena itu, Indonesia harus menjadi bangsa yang mampu memberi makan rakyatnya sendiri — apapun yang terjadi.
Presiden Prabowo paham adagium sejarah peradaban: tanpa ketahanan pangan, tidak ada kedaulatan.
Dan tanpa kedaulatan, tidak ada masa depan.
~ Urusan pangan adalah urusan hidup-matinya sebuah bangsa (Ir. Soekarno)
📷: Dialog Ketahanan Pangan @pco.ri