
Albert Einstein pernah menulis artikel berseri mengenai agama dan sains.
Sederhananya, ia menguraikan ada tiga jenis pengalaman keagamaan dalam sejarah manusia:
Pertama, agama berbasis ketakutan — lahir dari rasa gentar terhadap bencana dan hal-hal yang tak terjelaskan.
Pengikutnya mencari perlindungan dari kekuatan gaib, untuk menghadapi kenyataan yang gaib pula.
Kedua, agama berbasis keadaban — hadir sebagai pengatur nilai dan interaksi sosial.
Ia menjaga tatanan masyarakat, memperkuat kohesi, dan memberi arah dalam hidup bersama.
Ketiga, agama berbasis ketakjuban — ini yang paling bermakna, kata Einstein.
Ia menyebutnya Cosmic Religious Feeling: rasa takjub terhadap keindahan dan keteraturan semesta, yang menumbuhkan cinta pada ilmu pengetahuan dan pencarian makna kehidupan.
Bahkan, katanya, para nabi sejatinya adalah manusia yang hidup dalam kekaguman terhadap semesta — seperti saintis spiritual yang mencari kebenaran di balik realitas.
Einstein menegaskan bahwa agama dan sains bukan musuh.
Keduanya berdiri di ranah yang berbeda, tapi saling melengkapi:
Sains menjelaskan apa yang ada (what is).
Agama menjelaskan apa yang seharusnya (what should be).
Sains berbicara tentang fakta dan realita.
Agama berbicara tentang nilai dan makna.
Einstein merangkum semuanya dalam kalimat yang kini menjadi warisan pemikiran dunia:
“Ilmu tanpa agama adalah lumpuh. Agama tanpa ilmu adalah buta.”
Dan harmoni ini tercermin jelas dalam sosok-sosok seperti:
Isaac Newton — saintis jenius nan religius, yang ternyata lebih banyak menulis tentang agama ketimbang sains dalam seluruh warisan intelektualnya.
Ibn al-Haytham — pelopor metode ilmiah modern, yang menulis tentang teologi dan meyakini bahwa mencari ilmu adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Selamat shalat Jumat, kawan-kawan.
Dan setelah itu — singkaplah rahasia alam semesta. 🌌📚✨