
Jika kita membaca buku-buku sejarah, Salahuddin al-Ayyubi sebenarnya bisa saja merebut kembali Yerusalem lebih cepat dari 2 Oktober 1187.
Tapi mengapa tidak?
Karena yang menghalangi langkah Salahuddin bukan cuma musuh di Yerusalem, tapi juga kelakuan para pemimpin Muslim sendiri — yang justru menjadi duri dalam daging perjuangan.
Ada “si korup”: sibuk mengambil harta umat, lalu larut dalam kenikmatan dunia.
Ada pula “si penggangu”: jangankan membantu — yang terjadi malah mengganggu.
Dalam salah satu suratnya kepada Khalifah Abbasiyah, Salahuddin menulis:
“Mereka bukan hanya enggan ikut berjuang — mereka justru mencegah orang-orang yang ingin berjuang.”
Sebagian lagi, kata Salahuddin, bahkan lebih parah: bersekongkol dengan musuh. Itulah “si pengkhianat”.
Akibatnya, penaklukan Yerusalem tertunda selama bertahun-tahun.
Bukan karena lemahnya kekuatan.
Bukan pula karena tangguhnya lawan.
Tapi karena keretakan dalam barisan umat Islam sendiri.
Dan hari ini…
Semoga sejarah itu hanya menjadi pelajaran — bukan pengulangan.
Sumber: Saladin: The Politics of the Holy War, Saladin: The Life, the Legend and the Islamic Empire