
Dari survei nasional, tiga dari empat guru bersaksi: para murid mereka datang ke sekolah dengan perut kosong.
Mereka pun merogoh kantong pribadi, membelikan cemilan agar murid lebih bersemangat belajar.
Tidak, ini bukan kisah dari negara dunia ketiga. Ini terjadi di Amerika Serikat—negara adidaya.
Dengan UU pajak baru, Presiden Trump memangkas USD 186 miliar untuk bantuan pangan pendidikan.
Akibatnya, 18 juta anak terancam kehilangan makan gratis di sekolah.
23 gubernur sudah mewanti-wanti, tak sanggup menanggung akibatnya.
Di Texas, 3,4 juta siswa—hampir dua pertiga murid—bergantung padanya.
Di Mississippi, hampir seluruh anak sekolah, 99,7%, hidup dari program itu.
Asosiasi yang mewakili 3 juta pendidik pun angkat suara.
Dari pengalaman dan riset puluhan tahun, mereka tahu manfaatnya:
Makan bergizi gratis membuat anak hadir di sekolah lebih teratur, berperilaku lebih baik, dan berprestasi lebih tinggi.
Tetapi Trump memilih sebaliknya.
Mengalihkan uang untuk memberi keringanan pajak kepada segelintir orang ultra-kaya.
Indonesia memilih jalan berbeda.
Makan Bergizi Gratis diluncurkan, bukan dicabut. Diperluas, bukan dipersempit.
Karena kemerdekaan sejati adalah memastikan tidak ada anak belajar dengan perut kosong.