
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Dia akan memaniskannya.”
Para sahabat bertanya:
“Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan memaniskannya?”
Beliau ﷺ menjawab:
“Dia diberi taufik untuk menyelesaikan sebuah amalan, lalu Allah mencabut nyawanya pada saat dia mengamalkan amalan itu.” (HR. Ahmad no. 17819)
Hadis ini bukan sekadar kata-kata. Ia hidup. Ia nyata.
Berulang kali kita menyaksikannya:
Yang cinta shalat, wafat dalam shalatnya.
Yang cinta tilawah, wafat dengan bibir basah membaca Al-Qur’an.
Yang cinta wirid, wafat dalam zikir yang setia ia amalkan sepanjang hidupnya.
Saya pun menyaksikan sendiri.
Guru saya, yang tak pernah lalai dari zikir, khususnya Sayyidul Istighfar, wafat ketika lidahnya masih berucap:
“Allāhumma innī, lā ilāha illā Anta.”
Ibu mertua saya, yang tak pernah lepas dari doa Nabi Yunus:
“Lā ilāha illā Anta, Subhānaka innī kuntu minazhzālimīn,”
menghadap Allah dengan zikir itu pula — berulang, berulang, hingga akhir hayat.
Selamat jalan, Mama.
Mama kini sudah tidak sakit lagi.
Semoga manisan Allah yang lain menanti Mama di sana.
We love you so much.
Until we meet again, InsyaAllah.