
Di balik setiap bangsa tersimpan warisan peradaban, warisan kebijaksanaan.
Di timur, barat, utara, selatan —
ilmu manusia bertemu, saling mengisi, saling menyempurnai.
Semua peradaban akhirnya mengajarkan satu hikmah:
bahwa tujuan umat manusia yang beragam adalah pertemuan dan perdamaian.
Itulah kepercayaan Indonesia pada multilateralisme.
Kepercayaan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa lahir untuk menolak logika kuasa: “yang kuat berbuat semaunya, yang lemah menderita semestinya.”
Kepercayaan bahwa hikmah kemanusiaan dapat melahirkan keadilan.
Hari ini, tantangan kita nyata.
Perubahan iklim mengancam bumi.
Ketahanan pangan menentukan nasib keluarga di setiap negeri.
Indonesia memilih menjawab dengan kerja peradaban: energi bersih, hutan dipulihkan, produksi pangan ditingkatkan untuk rakyatnya, dan berbagi dengan saudara-saudara kita — termasuk Palestina.
Sebagai bangsa yang pernah dijajah, Indonesia tahu artinya dijajah, tahu artinya menderita.
Ya, Indonesia tahu pedihnya diperlakukan sebagai warga kelas dua, direndahkan martabatnya lebih hina dari hewan.
Itulah sebabnya Indonesia tak akan pernah diam saat Palestina terus hidup di bawah penjajahan dan penderitaan.
Keadilan di mana pun adalah syarat perdamaian di mana pun. Di Gaza. Di Jakarta. Di dunia.
Indonesia siap memainkan peran itu:
menjahit peradaban, menjaga bumi,
menguatkan pangan, mengirim pasukan perdamaian.
Karena inilah hikmah peradaban.
Bahwa kita adalah satu keluarga besar umat manusia, menapaki jalan perdamaian bersama.
Jalan yang dimulai oleh leluhur kita,
dan jalan yang harus kita tuntaskan bersama.





