
Pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda pada awal abad ke-20 sering terlihat menjanjikan di atas kertas. Ekspor komoditas seperti gula, karet, minyak, dan timah meningkat pesat, terutama sebelum krisis 1930-an. Namun, di balik angka agregat itu, struktur ekonomi kolonial menyimpan ketimpangan mendalam. Ketika depresi besar melanda, pendapatan penduduk pribumi jatuh hingga sekitar 40 persen dari tingkat awal 1920-an, sementara kelompok Eropa dan non-pribumi jauh lebih terlindungi dari guncangan ekonomi.
Kajian akademik oleh M. P. van de Water dalam disertasinya The Road to Drain or Gain: Dutch Private Investment and Economic Development in Late Colonial and Early Independent Indonesia (Leiden University, 2023), khususnya Bab 3 “Profits, Colonial Drain and Public Gain”, menunjukkan bahwa pembagian hasil pertumbuhan kolonial sangat timpang. Orang Eropa yang hanya sekitar 0,5 persen dari jumlah penduduk menguasai hampir 14 persen pendapatan nasional menjelang akhir masa kolonial. Kelompok “Foreign Asiatics” yang jumlahnya juga kecil menikmati kenaikan pendapatan jauh lebih besar, sementara penduduk pribumi hanya mengalami peningkatan pendapatan riil yang sangat terbatas dalam jangka panjang.
Van de Water juga menyoroti perdebatan tentang colonial drain: sejauh mana surplus perdagangan, laba perusahaan asing, dan dividen yang mengalir ke luar negeri mencerminkan pengurasan ekonomi koloni. Sebagian perhitungan menunjukkan aliran keluar keuntungan yang signifikan, bahkan mencapai beberapa persen dari produk domestik bruto pada periode antarperang. Tetapi terlepas dari perbedaan metode dan angka, kesimpulan umumnya sejalan: Hindia Belanda memang menghasilkan keuntungan besar, tetapi manfaat utamanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok, sementara struktur ekonomi kolonial membuat mayoritas penduduk pribumi tertinggal secara sistematis.







