
Artikel ilmiah berjudul “The Broader Economic Value of School Feeding Programs in Low- and Middle-Income Countries” karya Stéphane Verguet dan rekan-rekan (Frontiers in Public Health, 2020) menjelaskan bahwa program makan sekolah bukan sekadar kebijakan pendidikan atau bantuan gizi, tetapi investasi pembangunan dengan dampak ekonomi yang sangat luas. Saat ini sekitar 370 juta anak di dunia menerima makanan di sekolah setiap hari, meskipun cakupannya masih paling rendah di negara berpendapatan rendah.
Artikel ini menegaskan bahwa selama ini penilaian program makan sekolah terlalu sempit karena hanya dilihat dari sisi biaya operasional. Padahal, manfaatnya menyentuh setidaknya empat sektor sekaligus: kesehatan dan gizi anak, pendidikan, perlindungan sosial bagi rumah tangga miskin, serta penguatan ekonomi pertanian lokal. Dengan kerangka ini, penulis menganalisis program makan sekolah di 14 negara, termasuk India, Brasil, Ghana, Nigeria, dan Afrika Selatan.
Dari sisi kesehatan, makan sekolah berkontribusi mengurangi anemia dan infeksi cacing pada anak usia sekolah, sekaligus menjadi sarana distribusi intervensi kesehatan seperti obat cacing. Dampak kesehatan ini dihitung menggunakan indikator beban penyakit (DALY), lalu dikonversi menjadi nilai ekonomi berdasarkan pendapatan nasional per kapita masing-masing negara. Hasilnya menunjukkan manfaat kesehatan bernilai puluhan miliar dolar AS secara global.
Di bidang pendidikan, manfaatnya bahkan lebih besar. Artikel ini menunjukkan bahwa makan sekolah meningkatkan kehadiran siswa sekitar 9 persen, terutama di kalangan anak perempuan. Peningkatan kehadiran ini berdampak pada tambahan tahun sekolah, yang kemudian berujung pada kenaikan pendapatan saat dewasa. Jika dihitung sepanjang masa kerja, manfaat ekonomi dari sisi pendidikan menjadi komponen terbesar dari keseluruhan nilai program.
Program makan sekolah juga berfungsi sebagai bentuk perlindungan sosial. Makanan yang diterima anak di sekolah pada dasarnya adalah transfer pendapatan tidak langsung bagi keluarga. Nilainya setara dengan 10–15 persen pendapatan rumah tangga miskin, sehingga membantu mengurangi kerentanan ekonomi dan meningkatkan ketahanan keluarga, terutama di wilayah miskin dan rawan pangan.
Selain itu, artikel ini menyoroti dampak pada ekonomi lokal. Kebutuhan bahan pangan untuk makan sekolah menciptakan permintaan stabil terhadap hasil pertanian lokal. Jika dikelola dengan baik, program ini mendorong keterlibatan petani kecil, meningkatkan pendapatan mereka, dan menopang ekonomi pedesaan. Secara global, belanja bahan pangan untuk program makan sekolah diperkirakan mencapai sekitar USD 80 miliar per tahun.
Kesimpulan utama artikel ini tegas: jika seluruh manfaat lintas sektor dihitung bersama, program makan sekolah menghasilkan rasio manfaat-biaya yang sangat tinggi—dalam banyak kasus antara 7 hingga 30 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan. Karena itu, penulis menegaskan bahwa makan sekolah seharusnya dipahami bukan sebagai beban anggaran, tetapi sebagai investasi strategis jangka panjang dalam pembangunan manusia, kesejahteraan sosial, dan ekonomi nasional.







