Tekan ESC untuk keluar

ADAB TERHADAP ULAMA DAN AHLUL-BAIT

Suatu ketika, Ibnu Abbas ra. melihat seorang sahabat Rasulullah ﷺ bernama Zaid bin Tsabit ra. sedang menaiki seekor unta. Zaid adalah salah satu sahabat yang dikenal paling mumpuni ilmunya terkait Al-Qur’an.

Di masa Rasulullah ﷺ, Zaid pernah ditugaskan untuk menulis ayat-ayat Al-Qur’an. Dan di masa Khalifah Abu Bakar, Zaid pernah ditugaskan untuk memimpin tim penghimpunan Al-Qur’an menjadi satu kesatuan (mushaf).

Ibnu Abbas sendiri adalah sepupu Rasulullah ﷺ, yang tekun mempelajari ilmu agama sejak kecil. Sejatinya, usia Ibnu Abbas tidak terpaut jauh dari Zaid—hanya sekitar 9-10 tahun.

Namun demikian, tatkala Ibnu Abbas melihat seorang ulama (Zaid bin Tsabit) sedang menaiki unta, Ibnu Abbas pun langsung bergerak untuk membantu.

Dengan rasa takzim (penuh hormat), Ibnu Abbas memegang pelana unta dan menuntun unta yang dinaiki oleh Zaid. Merasa tidak enak hati, Zaid pun berkata, “Janganlah engkau lakukan ini wahai sepupu Rasulullah ﷺ.”

Ibnu Abbas tersenyum dan menjawab, “Demikianlah kami diajari adab terhadap ulama” (yaitu dengan menghormati dan melayani mereka).”

Zaid kemudian berkata, “Tunjukkanlah tanganmu.”

Ibnu Abbas pun menuruti perintah Zaid dan menjulurkan tangannya. Seketika itu pula Zaid mencium tangan Ibnu Abbas.

“Dan beginilah kami diajari adab terhadap keluarga Rasulullah ﷺ (Ahlul-Bait),” ujar Zaid.

Alangkah indahnya pelajaran akhlak dan adab yang kita terima dari dua tokoh penting dalam sejarah Islam. Yang satu adalah ulama dan sahabat bernama Zaid bin Tsabit yang amat vital kontribusinya dalam pengumpulan Al-Qur’an.

Dan yang satu lagi adalah sepupu Rasulullah ﷺ bernama Ibnu Abbas, yang kemudian hari menjadi seorang ulama dan rujukan umat seperti halnya Zaid pada masanya.

Sekalipun Ibnu Abbas adalah sepupu Rasulullah ﷺ, beliau menunjukkan sikap takzim terhadap seorang ulama dalam diri Zaid.

Begitu pula Zaid. Sekalipun beliau adalah seorang ulama terpandang dan juga lebih senior dari Ibnu Abbas, Zaid tidak segan untuk menunjukkan rasa takzimnya terhadap Ahlul-Bait dengan mencium tangan Ibnu Abbas. Alangkah indahnya adab keduanya yang terus terpelihara hingga akhir hayat mereka.

Alkisah ketika Zaid bin Tsabit wafat, Ibnu Abbas menangis dan berkata, “Wahai manusia! Jika kalian ingin tahu bagaimana ilmu itu diangkat, maka ketahuilah bahwasanya seperti inilah ilmu itu diangkat (dengan wafatnya ulama). Demi Allah, betapa banyaknya ilmu yang diangkat hari ini.”

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩