Ketika berdialog dengan orang Amerika yang non-muslim, saya seringkali mendapati mereka berasumsi bahwa Al-Quran itu “karangan” Nabi Muhammad ﷺ.
Hal ini wajar saja karena mereka tidak tahu. Wong, beberapa dekade lalu saja Islam di sana lebih dikenal sebagai “Mohammedanism”.
Namun menariknya, ketika mereka mempelajari Al-Quran lalu membaca hadis, mereka biasanya kaget.
Kaget kenapa?
Karena mereka mendapati ada dua “suara” dalam Al-Quran dan hadis. Sehingga mereka mulai menyadari bahwa setidaknya ada dua “authors” dari dua pusaka umat Islam itu.
Lho, apa kaitannya?
Sejatinya ini menunjukkan secara simpel bahwa Al-Quran dan hadis itu berbeda. Yang satu (seperti diyakini oleh muslim) adalah bahasa Tuhan, sedangkan yang satu lagi adalah bahasa Nabi Muhammad ﷺ. Jadi ya pasti beda.
Sebab logikanya, bila Al-Quran adalah “karya” Nabi Muhammad ﷺ, maka sintaksnya pun akan kurang lebih identikal dengan hadis, diksinya pun akan mirip, dan tone (serta sentimen)-nya juga tidak jauh beda.
Namun, orang yang rutin membaca Al-Quran dan hadis akan tahu, atau setidaknya ngerasa, bahwa keduanya memiliki writing atau oratory style-nya masing-masing.
Al-Quran, misalnya, disampaikan dari position of strength. Hal ini wajar karena Allah Tuhan Yang Maha Segalanya tidak perlu berkompromi dengan ciptaannya yang kecil, tak berkuasa, dan bergantung kepada-Nya.
Oleh karenanya, dalam Al-Quran, Allah memerintahkan, menyuruh, menerima, menolak, meninggikan, merendahkan, menempatkan ke surga, atau mengazab ke neraka siapa-siapa yang Dia kehendaki.
Dia absolute, berkehendak secara absolute, dan bertitah secara absolute pula.
Hal ini berbeda dengan hadis di mana Nabi Muhammad ﷺ berbicara dengan tone yang mengayomi dan memimpin umat dengan dinamikanya.
Maka hadis cenderung lebih fleksibel, tidak selalu berangkat dari position of strength, bahkan seringkali menunjukkan sentimen kerendah-hatian Nabi Muhammad ﷺ itu sendiri. (Nanti saya tunjukan hasil analisa “mesin” di bagian 3, sabar ya).
Baik, setidaknya mari kita mulai lebih sedikit saja ke arah kuantitatif.
Yang paling mudah dan sederhana adalah dengan mengecek dan menghitung diksi awalan doa yang berbeda di antara Al-Quran dan hadis.
Di sini ada hal yang menarik yang boleh jadi tak banyak diketahui.
DIKSI DOA DALAM AL-QURAN DAN HADIS
Doa-doa di Al-Quran itu mayoritas diawali dengan “Robbi” (Ya Tuhanku) atau “Robbana” (Ya Tuhan kami). Dari setidaknya 75 doa dalam Al-Quran, hanya 5 yang diawali oleh “Allahumma” (Ya Allah).
Dengan kata lain, hanya sekitar 7% doa dalam Al-Quran dengan pilihan kata “Allahumma”, sedangkan selebihnya (mayoritas) adalah “Robbi” dan “Robbana.”
Hal ini berbanding terbalik di kitab-kitab hadis yang mana 95% doa dari hadis diawali “Allahumma”.
Gak percaya? Coba kita tes ya.
Kalau kita pernah dengar doa ini:
Robbi zidni ilma…
Robbisrohli sodri…
Robbana atina fidunya hasanah…
Robbana dzalamna anfusana…
Kalau kita disuruh nebak dari mana sumber doa-doa di atas, maka tebakan yang benar adalah dari Al-Quran atau hadis?
….
Yang benar adalah dari Al-Quran.
Nah, sekarang kita coba tes doa berikut:
Allahumma bismika ahya…
Allahumma antas-salam…
Allahumma jannibna… (buat yang sudah nikah saja)
Ayo dari mana doa-doa di atas? Dari Al-Quran atau hadis?
….
Jawabannya dari hadis (riwayat Bukhari dan Muslim).
Nah, mengapa demikian?
Karena Al-Quran itu memang didesain untuk dibaca seluruh umat manusia, kata Imam Hasan Al-Basri. Terlepas seseorang itu muslim maupun non-muslim.
Maka ketika menyebut diri-Nya, Allah meredaksikannya dengan bahasa umum “Ya Tuhanku”. Ini bahasa universal. Orang Eskimo sampai suku Karowai pun memiliki intuisi bahwa ada pencipta, ada tuhan.
Nah, beda dengan redaksi doa dari hadis yang bersumber dari Nabi Mumammad (dan para sahabat). Nabi Muhammad ﷺ sudah tahu jelas siapa Tuhannya, ya tentu memangil Tuhannya dengan nama-Nya langsung: Allah.
Oleh karenanya, doa dalam hadis itu mayoritas 95% itu diawali “Allahumma” (Ya Allah). Ini bersifat reflektif dari Nabi Muhammad ﷺ sendiri.
Bahkan pernah Nabi Muhammad ﷺ hendak berdoa dengan doa sapu jagat dari Al-Quran (“Robbana atina”). Lalu beliau ﷺ refleks mengawalinya dengan “Allahumma”. Sehingga redaksinya jadi “Allahumma robbana atina…” (HR. Bukhari no. 4522). Ya ini memang style beliau ﷺ dan tidak bisa ditutupi.
Hal-hal yang terkesan kecil dan remeh seperti ini kadang luput dari sarjana Barat. Entah karena faktor bahasa atau motif lainnya.
Di sisi lain, orang yang hobi meneliti Al-Quran dan hadis, walaupun levelnya amatiran seperti saya, akan menemukan style yang unik dari keduanya.
Besok, insyaAllah kita bahas mengapa hadis itu sebuah approximate truth dan memang bersumber dari Nabi Muhammad ﷺ.
Pemirsa, kita rehat sejenak.