Tekan ESC untuk keluar

Alien dan Kemungkinan Makhluk Lain di Semesta Ini

“Residu non-manusia ditemukan di pesawat [alien] yang jatuh,” ucap mantan agen intelijen David Grusch di sidang DPR-nya Amerika baru-baru ini.

Pernyataan dari agen setingkat Kolonel urusan UFO ini, bukanlah hal baru tapi lagi-lagi memantik pertanyaan lama: Apakah kita betul-betul tidak sendiri di alam semesta ini?

Kita tahu bahwa ada setidaknya 1 septiliun bintang. Dan bila asumsinya ada lebih banyak planet dari bintang, masak sih tidak ada satu planet lagi yang ditinggali oleh “makhluk pintar” seperti manusia?

Coba bayangkan sejenak dahsyatnya angka septiliun ini.

Jika 1 triliun itu nolnya ada 12, maka 1 septiliun itu nolnya ada 24.

Asumsi jumlah planet: > 1.000.000.000.000.000.000.000.000

Sementara,jumlah planet yang ada makhluk pintarn: 1 (bumi)

Lalu di planet sisanya itu ada apa?

Cuma ada gas dan batu sajakah?

Atau ada yang berisi air?

Masak sih dari 14 miliar tahun usia alam semesta ini cuma bumi saja yang dihuni makhluk pintar? Usia bumi pun “baru” sekitar 4 miliar tahun—masih terhitung “planet bocil.”

Lalu 10 miliar tahun sisanya tidak adakah satu peradaban pun yang pernah melakukan perjalanan antar bintang?

Tidak adakah tokoh brilian pro-penjelajahan planet macam Elon Musk di sana?

Inilah sejatinya yang dimaksud dengan Paradoks Fermi: ketimpangan antara tingginya probabilitas adanya makhluk ekstraterestrial dengan bukti yang ada saat ini.

“Lalu mereka [alien] itu di mana?” tanya Fermi.

Para ilmuwan berbeda pendapat hingga saat ini.

Ada yang mengatakan mungkin mereka pernah ada tapi sudah punah, mereka ada tapi kita belum terkoneksi, mereka tahu kita ada tapi memilih tidak berkomunikasi karena kita masih dianggap terlalu “primitif” bagi mereka, dsb.

Menariknya, beberapa ulama klasik sejak dulu pun percaya bahwa kita tidak sendiri.

Ketika menafsirkan:

‎اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ

Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan (menciptakan pula) bumi seperti itu. (QS. At-Talaq [65]:12).

Imam Qurthubi berkata, “Ada banyak bumi dan di setiap bumi itu ada makhluk Allah.”

To infinity and beyond.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩