
Seorang anak mengangkat tangan,
bukan untuk meminta mainan—
tapi untuk berharap. Untuk hidup.
Satu apel jatuh, dunia temukan teori.
Ribuan jenazah jatuh, dunia belum temukan nurani.
Indonesia berdiri—bukan hanya bersikap, tapi bertindak.
Membantu korban luka.
Mengirim tim medis ke garis depan.
Karena membela mereka
adalah membela batas antara peradaban dan kebiadaban.
Dan jika SEMUA pihak SEPAKAT,
Indonesia siap membuka tangannya:
Untuk yang terluka,
Untuk yang trauma,
Untuk anak-anak yatim Gaza.
Karena kemanusiaan bukan teori.
Ia harus hidup. Ia harus hadir.
Bukan sekadar di bibir,
tapi nyata—menyelamatkan manusia.
Dan meski hanya mampu menyelamatkan satu jiwa,
Itu tak pernah sia-sia.
Bukankah Tuhan telah bersabda:
Siapa yang selamatkan satu jiwa,
seakan-akan ia telah menyelamatkan seluruh manusia.
Namun satu hal tak pernah berubah:
Indonesia menolak setiap pemindahan paksa.
Membantu bukan berarti menghapus hak.
Merawat bukan berarti mencabut akar.
Indonesia juga menolak setiap upaya
yang mengubah demografi Palestina—
karena tanah air bukan sekadar tempat,
ia adalah sejarah, identitas, kehormatan.
Mereka datang untuk dirawat sementara,
dan akan kembali saat luka reda.
Karena rumah mereka bukan di sini,
tapi di Palestina—untuk selamanya.
Sejak awal kemerdekaannya,
dan siapa pun presidennya,
Indonesia selalu berdiri bersama Palestina.
Mendukung hak mereka untuk merdeka.
Karena kemerdekaan dan kemanusiaan
bukan wacana dalam ruang diplomasi.
Bukan teori. Bukan basa-basi.
Ia harus terasa.
Ia harus nyata.
Ia harus hadir—
di saat dunia dan manusianya kehilangan nurani.