
Seorang murid duduk bersama gurunya di tepi danau. Airnya jernih, memantulkan langit yang teduh.
Murid itu bertanya, “Guru, mengapa korupsi itu berbahaya? Bukankah kalau hanya sedikit, tidak apa-apa? Lagi pula, semua orang melakukannya.”
Sang guru tersenyum tipis, lalu menunjuk seekor burung kecil yang sedang minum setetes air.
“Lihat burung itu, Nak. Ia hanya minum setetes. Tak terlihat merusak danau ini, bukan?”
Murid itu mengangguk pelan. “Iya, Guru.”
“Tapi bayangkan, Nak, jika setiap burung, setiap hewan, setiap manusia datang dan mengambil setetes demi setetes—dan semua berkata, “Ah, cuma sedikit.”
Pemuda itu berpikir sejenak, lalu berkata, “Tapi, Guru, danau ini besar. Satu dua tetes tak ada artinya.”
“Itulah yang dikatakan semua orang sebelum danau itu menjadi tandus. Semua berpikir ‘hanya setetes’. Semua berpikir ‘semua orang melakukannya’. Sampai akhirnya, yang tersisa hanyalah kubangan kosong,” ujar sang guru.
Sang guru menghela napas panjang, lalu berkata:
“Begitulah korupsi, Nak. Ia bukan sekadar mencuri dari masa kini, tapi mencuri dari masa depan. Mencuri dari anak cucu yang bahkan belum lahir. Hari ini sedikit, besok sedikit, dan lama-lama, habislah semua. Yang tersisa hanyalah ketandusan dan penyesalan. Ketika sadar, sayang semuanya sudah terlambat.”
Pemuda itu terdiam. Ia mengerti lalu mendapat inspirasi: “Gajah yang digigit satu nyamuk, hanya akan bentol. Tapi digigit jutaan nyamuk, akan mati kehabisan darah.”