Tekan ESC untuk keluar

Decoding Terrorism: Towards an Objective and Universal Definition

This article was previously published in Indopos in May 2018 

“We have cause to regret that a legal concept of “terrorism” was ever inflicted upon us. The term is imprecise; it is ambiguous; and above all, it serves no operative legal purpose,” said Richard R. Baxter, a former Judge of the International Court of Justice.

There’s a saying in epistemology, the branch of philosophy that delves into the nature and scope of knowledge, which asserts, “You cannot solve a problem without defining it.” This is precisely the predicament at the outset of every terrorism study. The term ‘terrorism’ is fraught with political and subjective shades, often labeled by one party, usually the government, onto another to discredit and delegitimize them. It’s rare for any group to self-identify as terrorists, given the negative implications of ‘terror’ and ‘terrorism’ in the public consciousness.

The subjectivity involved further complicates the quest for an objective definition. It’s often stated, “One person’s terrorist is another’s freedom fighter.” For example, Hamas members are deemed terrorists by the Israeli government and its citizens, yet to the people of Gaza, they are freedom fighters.

This subjectivism is often entangled with political alliances. For instance, the African National Congress and its leader, Nelson Mandela, who fought against apartheid, were labeled terrorists not just by the South African government but also by the United States, which was allied with South Africa at the time. Interestingly, Nelson Mandela remained on the U.S. terrorism watch list until 2008, despite having retired from politics for nine years.

Despite the muddy waters of definition, there have been efforts to define terrorism since 1937, initially by the League of Nations and later by the United Nations. However, these efforts have not yet culminated in a universally accepted definition.

Thus, we are faced with a situation where there isn’t just one definition of terrorism in the world but hundreds, even thousands. Moreover, these definitions not only differ from one country to another but can also vary between different institutions within the same country. For instance, the definition of terrorism according to the U.S. Department of Homeland Security differs from that of the Department of Defense, the FBI, and the CIA. This certainly doesn’t help in clarifying the concept of terrorism, which is often misused and misinterpreted by various parties for their respective interests.

In their book “Political Terrorism,” Alex P. Schmid and A.J. Jongman have gathered 109 definitions of terrorism from leading experts and academics. From these definitions, five key words and phrases emerge as dominant: violence, political, fear/terror, threat, and psychological impact. These key elements help provide a basic understanding of terrorism, but several other components are necessary for a more comprehensive and objective understanding.

Components of an Objective Definition

At least three key components are vital in concocting an objective definition of terrorism. First, the component of the message intended to be conveyed through an act of terror must be present. Essentially, terrorism exploits the misfortune or even the death of victims to send a message (and sow seeds of fear) to a broader society or a specific target audience. Although the victims often die in horrific circumstances, for terrorists, they are merely a medium to convey a message to a wider target audience. This differentiates ordinary acts of violence from terrorism, where the perpetrator (A) harms/kills a victim (B) to intimidate and send a message to the wider society (C). In contrast, in ordinary acts of violence, the perpetrator (A) harms/kills the victim (B) due to certain factors (such as hatred, revenge, etc.) without any message to others (C).

Second, terrorist acts can be perpetrated by anyone—whether non-state actors (groups, organizations, individuals/lone wolves, etc.) or state actors. Often, definitions of terrorism crafted by states pin terrorist acts only on non-state actors, thereby exempting themselves from being accused of terrorism. Yet, history shows well that states can also launch acts of terror against their own populations or others.

Third, terrorist acts can be motivated by any cause. While terrorism in the name of religion is currently rampant worldwide, previously, terrorism driven by political and nationalist ideologies was more dominant. We’ve heard of the Ku Klux Klan (KKK) in the United States, FARC in Colombia, and the Tamil Tigers in Sri Lanka launching terror actions based on right-wing, left-wing, and nationalist/separatist ideologies. Additionally, there’s what’s called single-issue terrorism, where a terror group focuses only on one topic, such as the Animal Liberation Front in England, which has targeted individuals or companies harming animals.

Considering the above key words/phrases and components, an objective definition of terrorism, in the author’s view, is the use of violence or the threat of violence against both symbolic and non-symbolic targets, intended to create fear and change the perceptions and behavior of a broader audience. With this definition, anyone using violence to terrorize the general public, regardless of their ideology, can be categorized as engaging in terrorist acts. Likewise, if a state behaves in such a manner, it too can be accused of launching terrorist actions.

@hamdan.hamedan on Instagram
MULIA DENGAN REZEKI HALAL

Dalam suatu riwayat, Rasulullah ﷺ memuji lelaki yang rela bersusah payah menggotong kayu bakar lalu menjualnya (HR. Bukhari no. 1471).

Mengapa Rasulullah ﷺ memujinya?

Karena bekerja, sesederhana apa pun, itu lebih mulia daripada mengemis pada manusia. 

Karena lelaki itu mencari nafkah yang halal dengan tangannya untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.

Dan tidak ada nafkah yang lebih baik ketimbang yang diupayakan oleh jerih payah tangan sendiri (HR. Bukhari no. 2072).

Siapapun kamu, penjual kayu bakar atau pedagang es teh, kamu mulia di mata Allah—walau mata manusia sering kali terlalu silau untuk melihatnya.
PERÓN DAN PEKERJA ARGENTINA

Kalau ada satu hal yang begitu dekat di hati menteri pekerja dan kemudian presiden Argentina Juan Perón adalah kesejahteraan para pekerja.

Bagi Perón, harga diri seseorang (dan bangsa) ada pada pekerjaannya. 

Dengan bekerja, seseorang mampu memajukan bangsanya, menafkahi keluarga tercintanya, sehingga ia “gagah” dan “bermartabat” sebagai manusia.

Karenanya, ketika terpilih pada 1946, Perón menjadikan kesejahteraan pekerja sebagai prioritas. Di tengah tantangan ekonomi dan keterbatasan fiskal, ia “berani”  meningkatkan upah pekerja.

Salah satu kebijakannya yang monumental adalah aguinaldo, bonus tahunan setara satu bulan gaji, yang membawa kelegaan finansial bagi jutaan pekerja Argentina.

Namun, ambisi Perón meningkatkan upah hingga 35% dalam waktu singkat membawa konsekuensi berat. Defisit fiskal mendorong pemerintah mencetak uang, memicu inflasi, dan akhirnya melemahkan daya beli masyarakat.

Kisah Perón adalah pelajaran abadi: perjuangan untuk kesejahteraan membutuhkan semangat, tapi juga kehati-hatian. Dan perjuangan itu memang butuh kesabaran untuk berprogres secara bertahap.

Meski tidak sempurna, ingatlah bahwa setiap langkah kecil menuju keadilan sosial (justicialismo) adalah kemenangan yang layak diapresiasi.

Sejarah mengingatkan kita, kebijakan yang gradual dan terukur sering kali lebih berkelanjutan untuk masa depan bangsa. 

Sehingga saya percaya keputusan Presiden @prabowo untuk meningkatkan upah minimum nasional (UMN) satu digit (6,5%) ketimbang permintaan dua digit (10%) sudah tepat. Langkah ini tak hanya bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan pekerja, tapi juga kecermatan dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Sejahtera pekerjanya, maju negaranya. Semoga.
Presiden Prabowo: Kunjungan ke Luar Negeri untuk Kemajuan Negeri

Presiden Prabowo Subianto baru saja menyelesaikan lawatan internasional pertamanya.

Melintasi lebih dari 45 ribu kilometer dalam 16 hari, beliau berdiplomasi dengan para pemimpin dunia di Tiongkok, Amerika Serikat, Peru, Brasil, Inggris, dan Uni Emirat Arab.

Kunjungan ini bukan sekadar perjalanan diplomatik, tetapi sebuah upaya untuk kemajuan negeri. Beliau pun pulang membawa “oleh-oleh” untuk bangsanya 🇮🇩:

✅ Komitmen Investasi $18,57 Miliar (~ Rp 294 T)* : Meliputi energi terbarukan, teknologi, dan industrialisasi yang akan mempercepat transformasi ekonomi bangsa, termasuk proyek penangkapan dan pemanfaatan karbon untuk mendukung transisi energi hijau.

✅ Perdagangan: Melalui CEPA dengan Uni Emirat Arab, perdagangan nonmigas diharapkan terus tumbuh dan mencapai $10 miliar.

✅ Diplomasi Strategis: Bertemu para pemimpin dunia seperti Joe Biden, Xi Jinping, Emmanuel Macron, Justin Trudeau, dan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres. 

Dalam pertemuannya dengan Guterres, Presiden Prabowo menegaskan dukungan Indonesia terhadap perdamaian dunia dan komitmen terhadap perjuangan P*lest*na. 

Bahkan beliau menyatakan, Indonesia siap mengirim pasukan perdamaian, jika dibutuhkan.

Presiden Prabowo menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, siap tampil di GARDA TERDEPAN pergaulan dan perdamaian dunia. 

Welcome home, Mr. President @prabowo . 🌍🇮🇩

*Angka ini hampir dua kali lipat anggaran pertahanan Indonesia (Rp 165 T)
KAPTEN DAN PELATIH SATU NAFAS = SUKSES 

Jose Mourinho bercerita bahwa dia pernah mempunyai kapten hebat di FC Porto. Jorge Costa namanya. 

Saat kondisi kurang ideal, Costa pernah minta izin kepada Mourinho untuk “berbicara” lebih dulu kepada para pemain di ruang ganti sebelum sang pelatih masuk. 

Mourinho pun setuju. 

Hasilnya luar biasa: para pemain langsung terbakar semangat, dan Porto pun keluar sebagai pemenang. 

Bahkan mereka akhirnya sampai mencetak sejarah juara Piala Champions. 

Itulah harmoni antara kapten dan pelatih yang hebat—dua jiwa yang seirama, bekerja sama demi kejayaan tim. 

Kombinasi seperti ini adalah kunci sukses dalam sepakbola, dan lazim ditemukan di tim-tim yang serius mau sukses. 

Yuk, kita bersama-sama mengedukasi tentang pentingnya sinergi antara kapten dan pelatih—bukan mencari hal-hal yang tak substansial, apalagi hanya demi sensasi dan klik semata. 

Trust me, you can do better next time 😊.

P.S. Oh ya, Jorge Costa itu posisinya bek. Jadi mengingatkanku kepada siapa ya? 😎
SELAMAT

Selamat kepada Coach @shintaeyong7777 dan segenap tim atas kemenangan gemilang 2-0 melawan Arab Saudi di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Babak Ketiga. 

Rekor-rekor baru pun tercipta:

1️⃣ Kemenangan pertama di babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 
2️⃣ Kemenangan pertama atas Arab Saudi sepanjang sejarah
3️⃣ Indonesia sebagai tim ASEAN tersukses di babak ketiga kualifikasi Piala Dunia dengan raihan 6 poin – melewati Vietnam (4 poin) dan Thailand (2 poin).

Dengan hasil ini, Indonesia berada di peringkat 3 Grup C, membuktikan bahwa harapan itu masih ada dan menyala 🔥

Terima kasih, Garuda, telah membuat kami bahagia dan bangga 🦅🇮🇩

Nah, yang bangga dengan progress dan proses timnas kita, mana nih suaranya? 😊
This error message is only visible to WordPress admins
Error: Access Token is not valid or has expired. Feed will not update.