Tekan ESC untuk keluar

DIASPORA DAN KEPEMUDAAN

Sejak kongres pertama Diaspora Indonesia di Los Angeles 2012 silam, terminologi ‘diaspora’ lambat laun masuk dalam kosakata publik Indonesia.

Diaspora, atau orang Indonesia atau keturunan Indonesia di luar negeri, dipandang sebagai potensi yang masih belum optimal digali. Padahal banyak dari mereka sudah dan siap kontribusi untuk ibu pertiwi.

Populasi mereka memang cukup besar, yaitu setara provinsi Sulawesi Selatan atau 9 juta jiwa. Mereka pun tersebar di lebih dari 90 negara di dunia.

Sebagian dari mereka ada yang berprofesi dan berpotensi menjadi atlet olahraga. Bahkan ada pula yang memang sudah terkenal hingga ke Indonesia karena prestasinya.

Bapak Menpora @ditoariotedjo jeli melihat diaspora sebagai potensi harus cepat digali. Beliau menugaskan saya membidangi hal ini dan kepemudaan sebagai tim ahli.

“Harus super sat-set dan berdampak nyata,” arahan Pak Menteri. Saya pun menyanggupi.

InsyaAllah, dalam satu bulan ini saya akan menyerahkan data ratusan atlet diaspora dari berbagai macam cabang olahraga. Barangkali saja ada yang berpotensi membuat olahraga Indonesia lebih berprestasi, apalagi banyak juga yang WNI.

Beberapa pelatih cabang olahraga juga telah mengontak saya untuk berdiskusi potensi diaspora. So this is a good sign.

Dan InsyaAllah minggu depan, salah satu atlet muda sepakbola @cmargono pun akan datang ke Indonesia untuk mengurus wawancara kewarganegaraannya.

Seperti kata Pak Menteri, memang harus super sat-set. Karena summer ini dia akan latihan dengan first-team Panathinaikos.

Dalam kepemudaan, saya akan mengajak pemuda/i diaspora Indonesia datang ke Tanah Air untuk bergotong-royong dengan rekan sebayanya dalam mengatasi masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat–entah itu masalah kebersihan, lingkungan, akses ke air bersih, dsb.

Program seperti ini tidak hanya akan berdampak nyata, tapi juga akan merekatkan persahabatan sesama anak bangsa.

Semoga ide “Diaspora Bakti Negeri” bisa diimplementasi, setidaknya dalam level olahraga dan kepemudaan. Mohon doa dan dukungannya.

Sebab waktunya tak banyak, maka saatnya bergerak.

P.S. want to collab? Text me, dm me, tag me any time. Looking forward 🤝

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩