Tekan ESC untuk keluar

Greenflation

Dalam upaya melawan perubahan iklim, kita dapat menghadapi sebuah dilema ekonomi yang disebut ‘greenflation’.

Fenomena ini mengacu pada kenaikan harga yang terjadi ketika transisi menuju energi berkelanjutan mensyaratkan investasi besar pada teknologi ramah lingkungan dan penerapan regulasi yang lebih ketat.

Belum lagi jika ada faktor seperti ketidakseimbangan penawaran dan permintaan terkait logam seperti tembaga, nikel, dan lithium yang menjadi bahan baku untuk membuat panel surya, baterai, dan teknologi bersih lainnya.

Sederhananya, ketidakseimbangan ini bisa dianalogikan seperti meningkatnya permintaan makanan organik. Ketika permintaan terhadap makanan yang lebih sehat dan ramah lingkungan meningkat, tapi produksinya belum bisa langsung mengimbangi, akibatnya adalah lonjakan harga.

Badan Energi Internasional sudah mewanti-wanti bahwa permintaan mineral untuk teknologi rendah karbon akan melonjak 4 kali lipat pada tahun 2040, sejalan dengan tujuan Perjanjian Paris.

Di titik ini kita harus bertanya: berapa biaya yang harus dibayar, dan siapa yang akan membayar? Negara dan atau warganya?

Dalam upaya membirukan langitnya, Shanghai mendorong warganya beralih ke kendaraan listrik dan transportasi publik. Salah satu caranya adalah dengan membebani biaya plat nomor kendaraan non-listrik setidaknya Rp. 156 juta. Apakah kita ingin tiru approach seperti ini?

Di Indonesia, tarif listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bisa mencapai Rp 1.037 per kwh, sedangkan PLTU yang bersumber dari batu bara Rp. 700 kwh.

Perbedaan Rp. 337 (48% lebih tinggi) terkesan kecil tapi pertanyaanya seberapa banyak rakyat Indonesia yang mampu menanggung kenaikan untuk transisi energi ini?

Di satu sisi, tanpa transisi energi, kehidupan di bumi terancam.

Di sisi lain, masih banyak warga Indonesia yang belum mampu menanggung biaya tambahan akibat kebijakan hijau.

Solusi parsial mungkin terletak pada fokus tidak hanya pada dekarbonisasi pasokan (jaringan listrik, transportasi, dan industri) tetapi juga pada dekarbonisasi permintaan. Ini berarti mengubah cara kita bepergian, makan, dan hidup.

Kenyataannya ketika berbicara tentang transisi energi, tak ada solusi yang mudah atau tanpa biaya. Atau tanpa mengharuskan perubahan kebiasaan.

Lebih dari itu, diperlukan kejelian kita mencari titik keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan stabilitas ekonomi.

Kebijakan hijau ke depan pun harus fokus tidak hanya pada teknologi, tetapi juga solusi sosial ekonomi yang inklusif. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan planet, tetapi juga menjaga kesejahteraan manusia.

Pemimpin masa depan harus melek terhadap hal ini.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩