
Bayangkan Indonesia seperti sebuah taman kota. Siapa pun boleh datang, bicara, dan berkumpul.
Tapi kalau ada yang mulai memalak, mengusir orang lain, bahkan mengklaim taman itu miliknya sendiri…
Itu bukan kebebasan. Itu premanisme.
Di Indonesia, kebebasan berserikat adalah hak konstitusional. Dan ormas—organisasi masyarakat—pun berhak tumbuh mewarnai alam demokrasi.
Hari ini, lebih dari 500.000 ormas telah lahir—setara dengan populasi negara Brunei Darussalam.
Mereka bergerak dalam pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan budaya. Mereka adalah mitra negara. Penjaga nilai-nilai bangsa.
Namun kita juga menyaksikan penyimpangan.
Ada pihak yang mengaku ormas, tapi terlibat pemalakan, penguasaan lahan, intimidasi warga, hingga gangguan terhadap dunia usaha.
Ini bukan ormas. Ini premanisme yang menyalahgunakan identitas sipil.
Dan premanisme bukan hanya mengusik rasa aman publik — tapi menggerogoti ekonomi.
UMKM dipalak. Investor lari.
Himpunan Kawasan Industri (HKI) berkata, ratusan triliun rupiah investasi batal masuk—yang berarti ribuan lapangan kerja tak jadi tercipta.
Dan negara tidak tinggal diam.
Berbagai pendekatan dan tindakan di lakukan:
✅ Lebih dari 10.000 pelaku ditindak sejak Mei 2025
✅ Ormas yang menyimpang akan disanksi
✅ Ruang pembinaan dibuka bagi yang “taubat” dan ingin berubah
✅ Rp504,7 triliun dialokasikan untuk perlindungan sosial
✅ Tambahan Rp11,93 triliun untuk Kartu Sembako dan bantuan pangan
✅ 30 proyek strategis nasional siap dimulai untuk buka lapangan kerja.
Karena republik ini taman bersama. Milik kita semua.
Terbuka bagi ormas yang menebar manfaat. Tertutup bagi preman yang menebar takut.
Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal ketertiban hukum, keadilan sosial, dan masa depan ekonomi nasional.
Ormas berhak tumbuh. Premanisme tidak.