Peristiwa Isra’ dan Mi’raj kemungkinan terjadi pada 621 M, dua tahun setelah wafatnya istri tercinta Siti Khadijah ra., dan paman Rasulullah ﷺ, Abu Thalib. Tahun-tahun itu disebut sebagai hari kesedihan (amul huzni) bagi Rasulullah ﷺ.
Jika perhitungan ini benar, maka peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi satu tahun sebelum Rasulullah ﷺ hijrah dari kota Mekah ke kota Madinah.
Dalam suasana penuh duka dan kesedihan mendalam ditinggal oleh kedua orang yang begitu dicintainya, Rasulullah ﷺ dihibur dan dikuatkan hatinya oleh Allah dengan memanggilnya ke langit untuk sebuah amanah khusus.
Hal ini adalah sebuah perjalanan, kemuliaan, serta amanah yang tidak diberikan kepada manusia mana pun, termasuk para nabi dan rasul sebelumnya.
Begitu penting mandat yang harus dilaksanakan hingga Allah memanggil Rasulullah ﷺ langsung untuk menghadap-Nya. Ibaratnya seseorang yang dipanggil langsung ke Istana Negara oleh Presiden untuk tugas khusus.
Tentunya tugasnya itu bukan tugas biasa, dan orang yang diberi tugas pun bukan orang biasa. Yang menjemputnya adalah protokoler Presiden lengkap dengan kawalan voorijder. Kurang lebih begitulah analogi sederhananya.
Boleh dikatakan ini adalah direct mandate from heaven yang disampaikan langsung tanpa perantara (tanpa Jibril). Saking signifikannya, Allah melipat ruang dan waktu agar “pertemuan langit” ini dapat berlangsung hanya dalam semalam hitungan waktu bumi.
Lantas bagaimana kronologinya? Berikut kurang lebih ceritanya:
Suatu malam, saat Rasulullah ﷺ sedang berada di sisi Ka’bah, seorang malaikat berwujud laki-laki mendatangi beliau ﷺ yang saat itu sedang dalam kondisi setengah terjaga dan tidur.
Malaikat itu adalah Jibril, pemimpinnya para malaikat. Beliau menghampiri Rasulullah ﷺ dengan membawa cawan emas berisikan hikmah dan iman.
Lalu Jibril mensucikan jiwa Rasulullah ﷺ, dan memenuhinya dengan hikmah dan iman (HR. Bukhari no. 3207).
Setelah itu, Jibril menunjuki Rasulullah ﷺ seekor Buraq. Ia adalah binatang putih yang ukurannya lebih kecil dari bagal (hewan keturunan silang antara kuda betina dan keledai) dan lebih besar dari keledai.
Buraq dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ lengkap dengan tali (kendali) dan pelana, tetapi Buraq mempersulit beliau ﷺ menaikinya.
Seketika itu pula Malaikat Jibril menegur Buraq dengan tegas.
“Patutkah kamu berlaku demikian kepada Muhammad?” ujar Jibril. “Padahal tidak ada yang lebih mulia di mata Allah kecuali dia (Muhammad ﷺ).”
Seketika itu pula Buraq berkeringat dan patuh dinaiki Nabi Muhammad ﷺ (HR. Tirmidzi no. 3131).
Shollu ‘Alan Nabi.