Kakek yang ramah itu kini telah tiada,
Dibunuh dalam sunyi oleh ledakan senjata,
Di tanah yang lama ia bela dengan jiwa dan cinta,
Khaled Nabhan mengikuti jejak syuhada.
Dulu ia mengubur cucunya,
Dengan tangis mengalir di pipinya,
Ia peluk tubuh cucunya yang mungil dan tak bernyawa,
Ia menyebutnya, “jiwa dari jiwanya.”
Mereka yang telah tiada bukanlah statistik atau angka,
Mereka manusia—punya cerita, punya asa,
Senyum kecil yang direnggut secara paksa,
Di tanah mereka, duka terukir nyata.
Khaled Nabhan terkenal bukan karena propaganda,
Melainkan kebaikan hati pada sesama.
Tangan lembutnya merawat luka-luka,
Di saat sebagian dunia memalingkan muka.
Di hadapan kebinatangan penjajah yang merajalela,
Khaled Nabhan memilih tetap menjadi manusia—menjaga nurani dan cinta.
Meski ia telah tiada,
Ia ajarkan pada dunia: apa itu artinya menjadi manusia.