
Ada sebuah ungkapan yang sering dikaitkan dengan Miyamoto Musashi, samurai legendaris dan filsuf strategi:
“Lebih baik menjadi kesatria di kebun, daripada tukang kebun di medan perang.”
Sumber kutipannya boleh diperdebatkan. Tapi maknanya tak terbantahkan.
Damai — dan negeri Indonesia ini — memang ibarat kebun yang indah.
Tapi damai tanpa kesiapan adalah undangan bagi bencana, bagi bahaya.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, kesiapan menciptakan efek gentar.
Sebaliknya, kelemahan mengundang intervensi—politik, ekonomi, hingga militer.
Sejarah pun menunjukkan:
Ada bangsa yang tidak siap, lalu diserbu dan dipaksa tunduk.
Ada pula bangsa yang terisolasi dan berkali-kali diancam, tapi tak diserbu.
Bukan karena hal lain. Tapi karena siap. Karena kuat.
Maka pelajarannya jelas:
Kekuatan bukan untuk menyerang. Tapi untuk mencegah — mencegah dizalimi.
Presiden Prabowo Subianto pun menegaskan prinsip dasarnya:
“Pertahanan adalah salah satu penjamin kedaulatan bangsa […] Kita cinta perdamaian. Tapi kita lebih cinta kemerdekaan.”
Indonesia harus selamanya merdeka.
Bukan hanya dari penjajahan fisik,
tapi juga dari tekanan, intervensi, dan ketergantungan strategis.
Maka kita pun harus siap: ekonomi, diplomasi, hingga militer.
Bukan untuk menindas. Tapi untuk memastikan kita tidak pernah ditindas.
Karena bangsa yang siap dan kuat, dihormati. Bangsa yang lemah, dijajah.
Dan kita tidak akan pernah sudi memilih yang kedua.