Dari dulu saya tidak pernah suka dengan ad hominem, yaitu argumen yang menyerang individu ketimbang argumennya itu sendiri. Entah itu dalam bentuk kartun politik atau gambar yang menurunkan martabat seorang tokoh.
“Hanya orang yang kekurangan argumen sajalah yang akan sibuk mengkarikatur dan menghina lawan politiknya,” kurang lebih begitu dawuh Abraham Lincoln setelah dia “taubat” dari mem-bully lawan politiknya.
Tak kalah penting, ad hominem, serta turunannya labeling, gak akan efektif, percaya deh. Efeknya yang ada justru tokoh yang dikritik malah semakin enggan mendengar. Ini bukan kata saya, tapi kata Dale Carnegie dalam bukunya, How to Win Friends and Influence People, serta Robert Greene dalam manifestonya, 48 Laws of Power.
Jadi bagaimana kritik yang elegan, akademik, dan lebih mungkin mempengaruhi yang dikritik?
Pakai ANGKA dan KPI yang dibuat oleh tokoh itu sendiri. Bahasanya juga disusun seobjektif dan non-personal mungkin. Fokuslah di datanya bukan orangnya. And never, ever shoot from the lip.
“Selama 7 tahun menjabat, jumlah realisasi janji kampanye Bupati A sebesar XX dari jumlah total XX janji.”
Kalau ini kan enak. Bisa dicek dan bisa diukur. Apalagi bila disertai list janji tersebut secara detail, lalu capaiannya, dan bagaimana menilainya. Tentu tak akan sempurna dan tak semua orang akan sampai ke penilaian yang sama, tapi tak apa-apa. Setidaknya sudah pakai data dan berpotensi menjadi diskusi (debat) politik yang mendidik.
Bonus: bikin infografis plus link untuk studinya. Maka akan kelihatan akademiknya dari para peserta didik terbaik di negeri +62.
Terakhir, watch my lips, bismillah komisaris NASA.