Tekan ESC untuk keluar

Machiavelli si Jujur

Ketika mendengar kata ‘Machiavelli’ atau frasa ‘politisi Machiavelian’, mungkin terbayang sosok politisi cerdik nan culas yang siap menghalalkan segala cara—the end justifies the means.

Buku The Prince memang seolah mencitrakan Niccolò Machiavelli sebagai seorang yang penuh tipu daya dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan. 

Namun, kehidupan Machiavelli ternyata jauh berbeda dari citra ini. Alih-alih culas, dia adalah politisi berintegritas.

Ketika diselidiki atas tuduhan korupsi, justru Machiavelli ketahuan sering menomboki pengeluaran negara. Akibatnya, dia malah menerima reimbursement dari negara.

Berbeda dengan koleganya yang tiba-tiba kaya di luar nalar setelah masuk pemerintahan, Machiavelli malah boncos.

“Loyalitas dan kejujuranku,” kata Machiavelli, “terbukti dengan kemiskinanku.”

Machiavelli juga dikenal sebagai patriot: ia pernah dinas di garda terdepan selama perang dengan Pisa. 

Saat pemerintah Florence hendak memindahkannya ke lokasi yang lebih aman, Machiavelli menolak, dengan alasan bahwa dia memilih untuk menghadapi bahaya demi negara.

Apesnya, Machiavelli justru dipenjara dan disiksa oleh penguasa baru, Medici, karena tuduhan palsu terlibat dalam konspirasi. Nyatanya, dia bersih.

Machiavelli akhirnya menulis The Prince sebagai surat lamaran dia untuk Medici. Harapannya, dia diberi kesempatan mengabdi di pemerintahan yang baru.

Apesnya, dia dicap sebagai “orangnya” rezim sebelumnya dan tak diberi kesempatan lagi.

Inilah ironi Machiavelli: seorang yang sebetulnya jujur nan baik, tetapi terjebak dalam permainan politik yang kejam dan penuh intrik.

 

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩