
Ketika mendengar kata ‘Machiavelli’, mungkin terbayang sosok politisi cerdik nan culas yang siap menghalalkan segala cara—the end justifies the means.
Buku The Prince memang seolah mencitrakan Niccolò Machiavelli sebagai seorang yang penuh tipu daya dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Namun, kehidupan Machiavelli ternyata jauh berbeda dari citra ini.
Alih-alih culas, dia adalah politisi berintegritas.
Ketika diselidiki atas tuduhan korupsi, justru Machiavelli ketahuan sering menomboki pengeluaran negara.
Akibatnya, dia malah menerima reimbursement dari negara.
Berbeda dengan koleganya yang tiba-tiba kaya di luar nalar setelah masuk pemerintahan, Machiavelli malah boncos.
“Loyalitas dan kejujuranku,” kata Machiavelli, “terbukti dengan kemiskinanku.”
Machiavelli juga dikenal sebagai patriot: ia pernah dinas di garda terdepan selama perang dengan Pisa.
Ketika diminta pindah ke lokasi aman, ia menolak—demi republik.
Namun sejarah tak selalu berpihak pada yang jujur. Dan pengabdian tak menjamin perlindungan.
Ketika dinasti Medici merebut kekuasaan, Machiavelli difitnah ikut konspirasi.
Ia dipenjara. Disiksa.
Tak ada bukti. Ia bersih. Ia dilepaskan tapi dilupakan.
Lalu lahirlah The Prince. Bukan sebagai kitab kelicikan, tapi sebagai surat lamaran kerja—upaya terakhir agar bisa mengabdi di pemerintahan baru.
Tapi ia ditolak. Dicap “orang lama”.
Dan dunia, tak pernah membaca konteksnya.
Inilah ironi Machiavelli:
Seorang yang sebetulnya jujur nan baik, tetapi terjebak dalam permainan politik yang kejam dan penuh intrik.