Artikel ini terbit sebelumnya di Indopos pada Maret 2018
10 bulan sudah terlewati semenjak penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Hingga kini para pelaku penyerangan belum diketahui. Novel sendiri menuding bahwa dalang penyerangan terhadapnya (dan penyidik KPK lainnya) adalah seorang jenderal polisi yang alergi dengan pemberantasan korupsi. Jika benar bahwa penyerangan ini terkait sepak terjang Novel di komisi anti-rusuah, maka siapa pun para pelakunya serta apa pun tujuan akhirnya, mereka telah salah kalkulasi.
Dalam bukunya David and Goliath, Malcolm Gladwell menjabarkan ada dua jenis penyintas (survivor) dari aksi kekerasan, termasuk dalam kasus peperangan. Yang pertama adalah penyintas near-miss yang mengalami langsung aksi kekerasan terhadap dirinya. Ia bisa saja terluka ringan, berat, sampai cacat sehingga menciptakan trauma dan rasa takut (paranoia) akan potensi kejadian serupa terulang kembali pada dirinya.
Yang kedua adalah penyintas remote-miss yang tidak mengalami kejadian kekerasan terhadap dirinya meskipun ia bisa saja adalah targetnya. Penyintas seperti ini sering dijumpai di kawasan perang di mana seseorang misalnya mendengar/melihat ledakan dan asap bom berjarak 500 meter dari lokasinya. Namun karena jaraknya relatif cukup jauh, ia tidak terdampak langsung. Semakin sering ia selamat dari bom yang meledak cukup jauh darinya, semakin ia merasa dirinya invincible dan menganggap gemuruh bom tersebut sebagai rutinitias, bukan ancaman.
Mengikuti model ini, seharusnya Novel sebagai penyintas near-miss akan menjadi takut dan jinak. Justru yang terjadi adalah Novel semakin berani—mirip dengan penyintas remote-miss. Bahkan ia semakin melawan dan tak sabar untuk kembali menjadi penyidik KPK. Mengapa demikian?
Alasannya ada di motivasi Novel sebagai pejuang anti-korupsi itu sendiri. Seperti halnya Malala Yousafzai yang memperjuangkan pendidikan perempuan di negeri yang lebih dari setengah anak-anak perempuan tidak bersekolah, Novel memperjuangkan suatu ide yang lebih besar dari dirinya: pemberantasan korupsi di negeri yang digrogoti koruptor. Seperti Malala yang harus berjuang di tengah teror dan akhirnya ditembak oleh Taliban, Novel pun paham betul risiko perjuangannya. Sejak awal ia sudah menerima bahwa ia bisa saja menjadi korban atau tepatnya martir (syahid) dalam jihadnya. Oleh sebab itu, ia sudah siap batin untuk mengalami kekerasan dan bangkit dari kejadian kekerasan yang menimpanya dengan tekad yang lebih kuat lagi—tak berbeda dengan Malala.
Dengan kata lain, air keras yang dilemparkan kepadanya ternyata semakin mengeraskan tekad Novel untuk berjuang. Mirip dengan Fred Shuttlesworth, pejuang kesetaraan hak di Amerika Serikat yang rumahnya di bom oleh ekstrimis Ku Klux Klan (KKK). Perlahan muncul dari bara api dan puing-puing rumahnya, Fred berkata, “Katakan pada teman-temanmu di KKK bahwa Tuhan telah menyelamatkan saya dan saya akan terus berjuang. Perjuangan ini hanyalah sebuah awal.”
Kejanggalan
Ada hal yang janggal dalam penyerangan terhadap Novel. Para pelaku ditenggarai cukup lama mengintai dan mengetahui rutinitas Novel kemudian menyiramkan air keras ke wajah Novel. Memang, penyerangan dengan air keras lebih sulit dilacak dibandingkan misalnya dengan pisau atau senjata api. Namun apabila tujuannya adalah untuk membungkam Novel, mengapa tidak menggunakan senjata api? Putra mantan penguasa di negeri ini pernah menyuruh anak buahnya menghabisi hakim yang sebelumnya memvonisnya bersalah.
Lantas mengapa air keras? Kemungkinan besar memang tujuannya adalah untuk melukai bahkan membuat cacat seumur hidup sehingga Novel tidak bisa lagi bekerja dengan baik—mempensiunkan bukan untuk membunuh. Penyiraman air keras pada umumnya dilakukan oleh sebab kemarahan atau kebencian terhadap target. Kasus seperti ini sering sekali dijumpai di Asia Selatan dengan korban umumnya perempuan yang disiram oleh laki-laki yang kesal atau murka dengan perempuan tersebut. Biasanya pelaku lekas tertangkap karena memang tindak kejahatan tersebut seringkali relatif spontan tanpa perencanaan yang matang. Pelaku juga umumnya tidak berusaha menutupi aksinya dan ingin korban tahu bahwa dialah yang mencederai korban.
Hal ini berbeda dengan kasus Novel di mana para pelaku cukup sistematis mengintai dan menyerang Novel kemudian sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya–seperti kerja professional dan terlatih. Namun dengan catatan korban harus tidak tewas karena tidak ingin menjadikannya martir sehingga terpercik kemarahan publik (public uproar) yang sulit dikendalikan sehingga ditakutkan dapat justru berpotensi memperkuat legitimasi, institusi, dan undang-undang KPK itu sendiri. Korban diharapkan (hanya) cacat sehingga tidak dapat lagi terus bekerja setelah upaya-upaya penyerangan sebelumnya terhadap Novel gagal mempensiunkannya.
Namun demikian, kadang ada yang lebih “berbahaya” dan berpengaruh daripada martir yang tewas, yaitu martir hidup dengan luka perjuangan yang dapat disaksikan bersama. 10 bulan setelah penyerangan terhadap dirinya, Novel muncul laksana martir hidup; ia semakin kredibel, berpengaruh, dan tak gentar dalam perjuangan. Sedangkan satu matanya yang hingga kini masih belum sembuh menjadi pertanda pengorbanan yang kita-kita pribadi belum tentu mau mempertaruhkannya, apalagi merelakannya.