
Iran dibom. Bukan karena memiliki senjata nuklir — tapi karena tidak memilikinya.
Terlalu sarkastis? Atau justru terlalu jujur?
Amerika Serikat baru saja menyerang tiga fasilitas nuklir Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Ketiganya berada di bawah pengawasan IAEA, badan internasional yang mengecek bahwa program nuklir suatu negara digunakan untuk tujuan damai — bukan untuk membuat bom.
Iran juga anggota NPT, traktat global yang mendorong negara-negara untuk tidak mengembangkan senjata nuklir.
Artinya, Iran berada dalam sistem non-proliferasi global—berbeda dari India, Pakistan, apalagi Is***l.
AS sendiri sebelumnya menyatakan memberi waktu dua minggu untuk negosiasi.
Namun belum dua minggu berlalu — rudal sudah meluncur.
Diplomasi dijanjikan. Bom yang datang.
Dan di sinilah dunia kini berdiri:
Di ambang keruntuhan kewarasan global.
Jika negara yang di dalam sistem dapat dibom tanpa konsekuensi, maka seluruh fondasi sistem pencegahan senjata nuklir hancur — bukan secara hukum, tapi secara logika.
Serangan ini mengirim pesan yang mengerikan:
Tidak punya nuklir = rawan. Punya nuklir = aman.
Dan inilah ironi geopolitik terbesar hari ini:
Korea Utara — yang selama ini dianggap “gila” — justru terlihat sebagai satu-satunya yang menghitung kalkulasi geopolitik ini dengan benar.
Mereka membangun senjata — dan aman.
Iran membuka pintu pengawasan — dan dihantam.
Jika dunia membiarkan ini berlalu, maka jangan heran bila ke depan lebih banyak negara memilih keluar dari sistem dan mulai membangun senjatanya sendiri.
Bukan karena haus perang. Tapi karena tak percaya lagi pada traktat internasional.
Ini bukan soal Iran.
Ini soal menyelamatkan kewarasan.
Soal menyelamatkan dunia dari sirnanya kewarasan dan merajalelanya kehancuran.