
Awal 2010-an, saya membaca artikel di Gazzetta dello Sport — tentang para bek masa depan Italia kelahiran 1987–1988.
Nama-nama yang diprediksi akan mewarisi Nesta, Cannavaro, dan Maldini?
Ranocchia. Bonucci. Ogbonna. Astori.
Nama Francesco Acerbi?
Hanya disebut sekilas. Nyaris tak diperhitungkan.
Tapi beginilah sepak bola.
Bukan hanya soal bakat, tapi tentang mental maraton. Tentang resiliensi melawan rentetan badai — dan menolak berhenti.
Ranocchia bersinar di awal, lalu perlahan tenggelam.
Bonucci mencapai puncak bersama Juventus dan Gli Azzurri.
Ogbonna pensiun di Inggris.
Astori — yang kita cintai — berpulang terlalu cepat.
Dan yang masih berdiri di level tertinggi hari ini, yang rutin adu mekanik dengan Lukaku, Haaland, Kane, dan Lewandowski?
Francesco Acerbi.
Iya, Acerbi — sang petarung. Pernah melawan alkoholisme. Didiagnosis kanker, dua kali. Hampir kehilangan segalanya.
Tapi dia bangkit. Dia bertahan. Dia menang — bukan hanya di lapangan, tapi di dalam jiwanya.
Itulah kuncinya.
Separuh dari pertandingan adalah mental. Separuh dari karier adalah memahami mental maraton: luka, lari, lanjut.
Dan di usia 37 tahun, Acerbi telah memenangkan yang paling sulit dari semuanya.
Dan itulah mengapa, Toni Kroos pun berkata:
“Kalau disuruh pilih: alarm, anjing herder, atau Acerbi — saya pilih Acerbi untuk jaga rumah saya. Inter punya tiga monster di belakang, tapi Acerbi itu soal mental baja.”