Tekan ESC untuk keluar

OPEN THE DOOR

“Always make the other person feel important,” titah Dale Carnegie, motivator level dewa asal negeri Paman Sam. Entah mengapa petuah itu terbesit di kepala saya saat melihat perangai Deddy Corbuzier kala menjamu Ketum PSSI H. Mochamad Iriawan di podcastnya.

Sebagai tuan rumah podcast nomor wahid di negeri +62, Deddy mungkin bisa saja bersikap pongah layaknya Ellen Degeneres. Maklum, podcast Deddy sudah layaknya TV nasional. Setingkat Wakil Presiden RI saja ke sana.

Namun, tidak bagi Deddy. Sejak awal dia bersikap ramah dan bersahabat kepada setiap tamunya. Begitu pula semua stafnya di sana. Itu yang saya rasakan betul.

Di podcastnya, Deddy duduk, bertanya, dan mendengar layaknya seorang teman yang sedang mendengarkan curhat temannya. Tidak ada kursi panas, tapi kursi yang hangat dan nyaman. Deddy bukan hakim dan dia tidak hendak menghakimi.

Walhasil, percakapan pun mengalir dan informasi terbuka dengan sendirinya. Smooth. Sociable. Seamless. Saya pun bisa melihat Ketum PSSI menikmati percakapan seputar sepakbola nasional di podcast itu.

Apa kira-kira rahasianya?

“Saya bikin podcast itu untuk menambah teman,” kata Deddy. “Lagipula kalau kita treat narasumber sebagai teman, pasti dia akan cerita semuanya.”

“Just two old friends talking” mungkin itu filosofinya yang saya tangkap.

Ketika berpisah, saya mengatakan kepada Deddy, “Sebetulnya ada satu orang yang harus masuk ke podcast Mas Deddy tapi belum.”

“Oh ya, siapa?” tanya Mas Deddy.

“Mas Deddy sendiri sebagai narasumber,” jawab saya. “Yang Mas Deddy lakukan setahu saya selalu sukses, saya pikir pasti banyak pelajaran berharga yang keren di-share ke netizen.”

Mas Deddy hanya tersenyum.

Hari itu saya belajar banyak dari seorang Deddy Corbuzier. Semoga suatu saat saya bisa hadir sebagai narasumber di podcast Close the Door membahas aplikasi KESAN tentunya. Setidaknya kali ini sudah nabung silaturahim “Open the Door” dulu.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩