
Seorang pemuda berambisi menjadi sakti mandraguna. Ia ingin bisa terbang, menghilang, dan mengendalikan anasir dunia.
Ia pun mendatangi seorang petapa.
“Guru, ajari aku kesaktian,” pintanya.
Sang petapa tersenyum, lalu menunjuk seorang petani tua yang tengah membanting tulang di bawah terik matahari.
Tubuhnya ringkih, tangannya penuh lecet akibat bertahun-tahun mencangkul tanah. Walau keringat bercucuran, wajahnya tetap teduh, langkahnya tetap teguh.
“Lihatlah orang tua itu,” ujar sang petapa.
“Ia tak bisa terbang, tak bisa menghilang, dan tak bisa mengubah bulir padi menjadi emas. Namun setiap hari ia bekerja dengan jujur. Tak mencuri. Tak menipu. Dan selalu bersyukur. Menurutmu, ia kurang sakti apa lagi?”
Pemuda itu pun paham. Sakti itu bukan tentang menaklukkan hukum alam, tetapi menaklukkan diri sendiri.
Sakti itu tentang berdiri kokoh dalam prinsip nurani, walaupun hanya seorang diri.
Begitu pula dengan mereka yang memilih kejujuran di negeri ini—yang hatinya berhasil menaklukkan segala hasrat untuk korupsi—merekalah orang-orang sakti sejati.
Maka, panjang umurlah orang-orang sakti di republik ini.