Tekan ESC untuk keluar

Patil Si Basil

Konon ketika Kaisar Michael III sedang menginspeksi koleksi kudanya, seekor kudanya tiba-tiba mengamuk. Perawat kuda asal Macedonia bernama Basil dengan terampil menjinakkan kuda itu di hadapan sang kaisar Bizantium yang sedikit panik.

Sebagai pecinta kuda, Michael III mengapresiasi ketangkasan Basil. Terlebih lagi, Basil juga dikenal sebagai “orang kuat” yang disegani. Lambat laun, sang Kaisar memasukkan Basil ke dalam inner-circle-nya.

Berkawan dengan kaisar tentunya ada benefitnya. Karir Basil pun moncer hingga menjadi kepala istal (stable) kekaisaran beberapa tahun kemudian.

Ketika Bardas, paman Kaisar Michael III, ditengarai hendak mengkudeta, Basil berdiri di garda terdepan dalam menumpas Bardas.

Michael III akhirnya menghadiahi kawan lamanya, Basil, posisi pemimpin tertinggi kedua setelah dirinya. Meski ada beberapa penasehat Michael III yang sempat komplain dan meragukan kompetensi Basil, sang Kaisar tidak menggubrisnya.

“Yang penting si Basil loyal,” ujar Michael III kira-kira.

Jika dulu sibuk mengurusi kuda, Basil kini sibuk mengurusi negara—sebuah emporium yang kompleks bahkan.

Basil gercep menguasai simpul-simpul kekuasaan. Dia juga tak ragu bersekongkol dengan pihak eksternal guna menggalang kekuatan tambahan.

Rupanya kekuasaan itu memang bikin ketagihan, Basil pun ingin cepat “naik pangkat” lagi.

Michael III akhirnya tersadar melihat kawannya Basil sudah berlebihan. Dia pun berpikir untuk menyiapkan pengganti Basil.

Mendengar posisinya hendak dicopot, Basil mengambil langkah “patil preemptif”. Di tengah malam, Basil bersama delapan kroninya menyelinap ke kamar Michael III dan menusuk sang kaisar yang sedang tidur. Micahel III pun tewas “dipatil” oleh si Basil.

Keesokan harinya, Basil tegas memproklamirkan dirinya sebagai kaisar—tak sampai dua tahun sejak ia diberi kepercayaan penuh oleh “kawan dan kaisarnya” Michael III yang kini terbujur kaku.

Ada benarnya wejangan sekaligus doa dari Voltaire: “Tuhanku, aku sanggup menghadapi semua musuhku, tapi lindungilah aku dari ‘kawan-kawanku’”.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩