Di suatu masa, hiduplah seorang pelayan istana bernama Damocles. Ia selalu terpukau oleh kehidupan Raja Dionysius yang glamor, diliputi kemewahan, kenikmatan, dan kekuasaan.
Setiap hari, Damocles membayangkan betapa nikmatnya menjadi seorang raja: menikmati makanan lezat, memiliki harta berlimpah, dan dihormati semua orang.
Raja Dionysius menyadari betapa pelayannya “ngences” ingin menjadi raja.
Suatu hari, Raja Dionysius menawarkan sebuah kesempatan yang tak pernah terbayangkan oleh sang pelayan.
“Jika kamu begitu ingin tahu rasanya menjadi raja,” kata Raja Dionysius, “maka sekarang juga silakan duduk di takhtaku dan menikmati semua yang kumiliki.”
Dengan penuh antusiasme, Damocles menerima tawaran itu.
Ia pun duduk di takhta emas, dikelilingi oleh kekayaan yang tak pernah ia impikan sebelumnya. Para pelayan istana menghidangkan makanan terbaik, dan seluruh perhatian tertuju padanya.
Damocles merasa di langit ketujuh.
Namun, ketika ia mendongak, ia melihat sesuatu yang mengagetkannya—sebilah pedang tajam, hanya ditopang oleh seutas rambut yang tipis, tergantung tepat di atas kepalanya.
Pedang itu terus mengikutinya dan bisa jatuh kapan saja, membelah kepalanya menjadi dua.
Setiap gigitan makanan terenak, setiap detik di ranjang terempuk, kini terasa dalam cekaman berbahaya.
Euforia Damocles pun berubah menjadi kekhawatiran dan ketakutan.
Kisah Pedang Damocles mengingatkan kita bahwa di balik gemerlapnya kekuasaan, ada tekanan, bahkan ancaman yang selalu mengintai di setiap tikungan.
Seperti pedang yang menggantung di atas kepala Damocles, kekuasaan selalu membawa risiko yang tidak kasat mata, tapi sangat amat nyata adanya.
~ Uneasy lies the head that wears a crown (William Shakespeare)