Sokrates dan Plato hidup di sebuah zaman ketika kata-kata bisa memenangkan jabatan, tetapi tidak selalu memenangkan kebenaran.
Ketika retorika menjadi komoditas, dan para sofis mengajarkan bagaimana memenangkan perdebatan, bukan bagaimana mencari yang benar.
Di titik itu, Sokrates berdiri melawan arus.
Ia menolak seni bicara yang dipisahkan dari akal budi.
Ia menolak persuasi tanpa moral.
Ia menolak kemenangan tanpa kejujuran.
Baginya, kebenaran tidak boleh dijual.
Dan pikiran tidak boleh disesatkan oleh argumen yang hanya tampak indah di permukaan.
Plato, muridnya, menyaksikan semuanya.
Ia melihat bagaimana retorika dapat memikat, tetapi juga menipu.
Bagaimana puisi dan mitos dapat menggugah, tetapi juga menyesatkan ketika menggambarkan para dewa dengan sifat yang tidak layak diteladani.
Ia melihat bagaimana seni bisa mempengaruhi jiwa, tetapi sering kali jauh dari realitas: sekadar bayangan dari bayangan.
Karena itu mereka berhati-hati.
Bukan karena anti-seni.
Bukan karena anti-puisi.
Tetapi karena mereka menolak apa yang merusak jiwa manusia: kata-kata yang tidak bersandar pada kebenaran, cerita yang melunturkan akhlak, dan argumen yang sekadar membungkus kehampaan.
Dan ketika Sokrates dituduh “merusak anak muda”, tuduhan itu bukan karena ia mengajarkan kejahatan, tetapi karena ia mengajarkan sesuatu yang lebih berbahaya bagi tatanan yang rapuh:
Ia mengajarkan generasi baru untuk bertanya.
Untuk menyelidiki klaim kekuasaan.
Untuk tidak tunduk pada retorika yang hanya terdengar indah tetapi tidak benar.
Hari ini, kita hidup dalam dunia di mana sofisme modern tersebar dalam layar kecil di genggaman kita.
Argumen yang tampak benar tetapi salah.
Narasi yang tampak puitis tetapi menyesatkan.
Retorika yang tampak bijak tetapi kosong.
Sokrates mengingatkan kita bahwa kebenaran membutuhkan keberanian.
Plato mengingatkan kita bahwa kata-kata membutuhkan tanggung jawab.
Dan zaman ini mengingatkan kita bahwa tanpa keduanya: kita akan tersesat oleh suara-suara yang hanya tampak meyakinkan, tetapi sama sekali tidak benar.
