Tekan ESC untuk keluar

PRESIDEN WASHINGTON

“Kemampuan terhebat George Washington tidak terletak hanya pada kemampuan militernya saja, tetapi juga pada kemampuannya mengumpulkan talenta terbaik dan ahli di berbagai bidang untuk bekerja bersamanya,” ujar sejarawan Amerika Serikat, Richard Kezirian.

Benar saja. Washington terkenal sebagai jenderal dan presiden yang menerapkan merit system. 

Usai dilantik menjadi presiden, Washington langsung menunjuk talenta-talenta terbaik Amerika untuk mengisi kabinetnya, baik yang muda maupun yang tua. Yang terpenting kompeten. 

Washington melantik teknokrat muda berbakat seperti Thomas Jefferson, Alexander Hamilton, dan John Jay sebagai menteri dalam kabinetnya. 

Untuk membina hubungan strategis dengan Prancis, Washington menugaskan si senior bijak Benjamin Franklin sebagai duta besar. 

Tokoh-tokoh ini dipandang sebagai orang-orang yang cerdas, bahkan dipandang lebih cerdas dari Washington. Tapi di sinilah gaya kepemipinan Washington terlihat. 

Washington tidak merasa minder atau tersaingi. Justru, ia percaya bahwa untuk mewujudkan visi besar Amerika pasca-kemerdekaan, dibutuhkan orang-orang yang kompeten, bahkan yang lebih ahli dari dirinya.

Dalam suratnya kepada sahabatnya, Washington menjelaskan bahwa sebagai presiden ia harus adil dan mementingkan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi atau golongan. “Tidak ada ruang untuk itu,” tegas Washington. 

Tak aneh jika karena merit sytem inilah Washington berhasil menstabilkan republik yang baru terbentuk, menavigasi konflik antara dua negara superpower (Prancis vs. Inggris), dan menyiapkan pemindahan ibu kota.

Sejalan dengan petuah Steve Jobs bahwa sometimes, all it takes to reach success is hiring the very best.

Happy birthday, Amerika. Semoga presidenmu berikutnya mewarisi leadership style Washington. 

 

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩